JATAM: Pulihkan IUP Bermasalah, Bukti Pemerintahan Presiden Jokowi Pelayan Oligarki
Berita Baru, Jakarta – Jaringan Tambang (JATAM) Nasional menilai bahwa Keputusan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk memulihkan izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah yang telah dicabut sebelumnya, semakin menegaskan bahwa upaya pencabutan 2.078 IUP pada 6 Januari 2022 lalu tidak lebih dari siasat percepatan pengerukan demi keuntungan oligarki tambang.
“Terbukti pencabutan izin yang lalu tersebut, hanya upaya untuk menekan pebisnis tambang agar memperbesar investasi serta mempercepat pengerukan komoditas tambang di konsesinya,” kata Muh. Jamil, Kepala Simpul Belajar dan Jaringan JATAM dalam siaran persnya yang diterima Beritabaru.co, Selasa (27/9).
Diketahui, Presiden Jokowi pada awal tahun 2022 melakukan pencabutan ribuan izin berbasis lahan skala luas di sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Ia mengklaim, jika pencabutan izin-izin tersebut terkait upaya pemerintah untuk terus memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar terjadi pemerataan, transparan, dan adil untuk mengoreksi ketimpangan ketidakadilan dan kerusakan alam.
“Namun jika ditelisik lebih jauh, pencabutan IUP kala itu tak didasari dan tak menyentuh perusahan pemegang IUP yang melakukan tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan, juga membuka ruang eksploitasi baru yang berdampak pada percepatan dan perluasan kerusakan di seluruh kepulauan di Indonesia,” ujarnya.
Hal tersebut, lanjurnya, dibuktikan dengan pernyataan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia (26/9), yang menyebutkan bahwa saat ini sudah ada 733 IUP, yang sebelumnya sudah dicabut, sedang ditindaklanjuti untuk proses pemulihannya. Bahkan Bahlil menegaskan sudah ada 83-90 izin yang sudah dipulihkan di tahap pertama ini.
“Sayangnya, tidak jelas apa yang mendasari pemulihan izin yang telah dicabut ini. Padahal, seharusnya evaluasi sektor pertambangan tidak hanya terkait pemenuhan syarat administratif investasi semata, namun juga terkait dengan evaluasi lingkungan dan juga pelanggaran hak-hak warga yang di sekitar tapak operasi perusahaan,” ucap Jamil.
Menurut Ki Bagus (Pengkampanye JATAM) jika pemerintah memang serius dan bersungguh-sungguh demi kelangsungan lingkungan hidup dan keselamatan warga, seharusnya proses evaluasi dan pencabutan izin pertambangn tersebut juga harus menyasar perusahaan besar, yang juga terkait dengan orang-orang yang kini berada di lingkaran kekuasaan atau bahkan menjadi Menteri di Kabinet Jokowi.
“Antara lain, PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur milik Bakrie Group, yang terhubung dengan Aburizal Bakrie, petinggi Golkar; PT Multi Harapan Utama (MHU) di mana Airlangga Hartarto, petinggi Golkar yang kini menjabat Menko Perekonomian, pernah menjadi komisarisnya; PT Adaro Indonesia milik keluarga Thohir yang sahamnya juga pernah dinikmati oleh Sandiaga Uno; Tambang-tambang anak perusahaan Toba Bara Group, yakni PT Kutai Energi, PT Adimitra Baratama Nusantara, PT Trisensa Mineral Utama dan PT Indomining. Toba Bara merupakan grup perusahaan yang bergerak di bidang energi dan pertambangan diketahui terkait dengan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan,” urainya.
Belum lagi izin-izin tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang jelas melanggar pasal 35 huruf (k) pada UU No. 1/2014 perubahan UU No. 7/2007 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K), yang melarang adanya pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan penambangan mineral pada wilayah yang secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan atau merugikan Masyarakat sekitarnya.
“Seperti IUP PT Gema Kreasi Perdana dan 5 perusahaan tambang nikel lainnya di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara; PT Tambang Mas Sangihe yang mengapling lebih setengah luas Pulau Sangihe, Sulawesi Utara; bahkan BUMN PT ANTAM juga tidak lepas dari pelanggaran hukum ini atas operasinya di Pulau Gee, Pulau Pakal dan Teluk Buli di Maluku Utara,” sambungnya.
Ia pun melihat pemulihan izin tambang bermasalah ini tidak berdiri sendiri. Potret regulasi-regulasi baru yang lahir demi melayani kepentingan oligarki juga tercermin dari lahirnya beberapa keputusan pemerintah.
“Mulai dari lahirnya revisi UU Minerba 3/2020 yang tidak hanya menjamin operasi pertambangan dan penguasaan lebih lama oleh korporasi, namun juga memberikan insentif dan kemudahan perizinan. Lahirnya UU Cipta Kerja 11/2020 yang menjamin ketersedian lahan untuk proyek-proyek ekstraktif berlabel Proyek Strategis Nasional. Perpres 55/2019 tentang Percepatan Program Mobil Listrik dan Inpres 7/2022 tentang Penggunaan Kendaraan Listrik yang kedua regulasi ini telah mendorong ekspansi industri nikel besar-besaran, bahkan tidak sedikit elit politik yang meraup untung dari bisnis kendaraan listrik baterai ini. Antara lain Nadiem Makarim, Sandiaga Uno, Luhut Pandjaitan, Moeldoko, Bambang Soesatyo, hingga Ahmad Ali. Selanjutnya Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan, yang ternyata masih membuka peluang dan menjamin pembangunan PLTU-PLTU baru terutama yang terkait dengan industri peningkatan nilai tambah komoditas tambang dan juga PLTU yang terkait dengan Proyek Strategis Nasional,” terang Ki Bagus.
Sesuai dengan dugaan JATAM saat Presiden Jokowi mengumumkan pencabutan IUP di awal tahun ini, pencabutan ribuan izin tambang ini merupakan bagian dari upaya konsolidasi investasi dan percepatan pengerukan komoditas tambang demi kepentingan Oligarki, alih-alih atas dasar penyelamatan lingkungan, perlindungan hak warga dan evaluasi atas carut marut proses perizinan tambang.
“Pemerintahan Jokowi dengan sukses telah mendorong pebisnis tambang untuk menggelontorkan modalnya dan mempercepat kerusakan di tapak-tapak konsesi yang sejatinya merupakan bagian dari ruang hidup warganya sendiri. Dalam pengelolaan sumber daya alam, Pemerintahan Jokowi saat ini tidak beranjak dari watak pengurus-pengurus negara sebelumnya, Keruk Habis, Jual Cepat,” pungkasnya.