Jalan Berliku Rukmini Paata Toheke Perjuangkan Hutan Adat Ngata Toro
Berita Baru, Tokoh – Ibu adalah bumi. Bumi menghidupi manusia dan ibu melindungi keluarga. Barangkali inilah yang menjadi titik pijak mengapa Rukmini Paata Toheke berkenan meluangkan banyak waktu dan tenaganya untuk menjaga bumi Sulawesi Tengah.
Rukmini merupakan salah satu aktivis perempuan, seorang Tina Ngata, ibu, sekaligus perempuan adat di desa Ngata Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Sebagai perempuan adat, Rukmini boleh disebut cukup sukses membuktikan pada dunia bahwa perempuan bukanlah makhluk yang hanya bisa bersembunyi di bawah ketiak laki-laki.
Pada Agutus 2001, seperti disampaikan Rukmini sendiri dalam sesi podcast bersama Sikola Mombine bekerja sama dengan The Asia Foundation, The David Lucile &Packard Foundation, UKaid, dan Beritabaru.co pada Kamis (18/3), ia berhasil membukakan akses pada perempuan di desanya untuk menjadi bagian dari kelembagaan adat dan memiliki suara penuh untuk pengambilan keputusan.
Dalam kasus tertentu, bahkan lembaga adat menggantungkan sepenuh keputusannya pada para perempuan adat. “Biasanya ini berhubungan dengan penentuan waktu yang pas untuk menebar benih dan tanaman apa yang harus ditanam. Jadi untuk kasus ini, kami, para perempuan berdaulat secara keputusan,” ujar Rukmini dalam acara yang diselenggarakan untuk turut merayakan hari perempuan sedunia 8 Maret kemarin.
Keinginan Rukmini untuk memperjuangkan adanya akses perempuan di kelembagaan adat serta legawanya para bapak di kelembagaan untuk memasrahkan suaranya bukan tanpa alasan. Ini memiliki landasan sejarah di Ngata Toro yang Rukmini tidak akan pernah melupakannya.
Yaitu bagaimana para Tina Ngata—semacam perempuan yang disosokkan di Ngata Toro—sejak dulu memiliki andil yang besar di berbagai bidang, khususnya pertanian. Mereka tidak saja bertanggung jawab atas waktu tanam, apa yang ditanam, tetapi juga ihwal mitigasi bencana.
“Jauh sebelum ada penyuluh pertanian ataupun mitigasi dari pemerintah, nenek buyut kami sudah melakukannya. Salah satu yang masih mengena di benak saya adalah tentang ketahanan pangan. Sejak dulu, kami diajari untuk selalu menyisakan dua karung padi di lumbung, dalam arti tidak boleh sampai menghabiskannya total, supaya ketika ada bencana, kami masih ada stok,” jelas Rukmini dengan outfit khas adatnya.
“Selain itu, kami juga kerap diarahkan untuk menanam jenis padi lokal. Sebab, meski masa panennya agak lama, 5 bulan, padi lokal lebih tahan penyakit, sehingga kami tidak membutuhkan obat-obatan yang tidak ramah lingkungan itu,” Rukmini melanjutkan.
Pendeknya, akibat adanya kepercayaan bersama bahwa Tina Ngata memiliki peran signifikan di desa, Rukmini merasa terpanggil untuk memperjuangkan akses bagi perempuan di Ngata Toro dan di sisi lain, para laki-laki pun merelakan pengakuannya.
Kisah cinta antara hutan dan nilai adat Ngata Toro
Perjuangan Rukmini adalah perjuangan adat, perjuangan alam. Dari segi norma, nilai-nilai adat desa Ngata Toro berpihak pada hutan. Di situ, Rukmini mengisahkan, ketika ada anggota desa yang meninggal, siapa pun tidak boleh ada yang pergi ke hutan sebagai sebentuk penghormatan terakhir bagi yang meninggal.
Jika yang meninggal perempuan, larangan berlaku selama 9 hari, sedangkan jika laki-laki 7 hari. Jika dipahami, lanjut Rukmini, adanya larangan adat seperti ini, selain penghormatan, berguna juga untuk melindungi hutan dari pencurian kayu dan semacamnya, mengetahui banyak warga akan sibuk mengurus upacara kematian di rumah duka.
“Dalam bahasa kami, ini adalah te petagi, yaitu ketika ada dari kami yang meninggal, maka aka nada ombo dan selama 9 atau 7 hari, siapa saja tidak boleh kehutan,” kata Rukmini.
Selain itu, ada juga yang disebut sebagai te popalia atau pantangan untuk pergi ke hutan ketika padi sudah mulai menguning. Termasuk dalam radar larangan adalah keperluan pergi ke hutan untuk produksi kain kulit kayu, meski produksi kain jenis ini sangat menguntungkan secara ekonomi.
“Jadi, itulah kenapa wajar ketika kain kulit kayu produksi kami harganya mahal, sebab produksinya tidak bisa setiap saat. Ketika padi berbuah, kami tidak bisa tidak menghentikan produksi,” tutur Rukmini.
Meski demikian, untuk konteks hari ini, dukungan nilai adat tidak cukup, sehingga Rukmini dan teman-temannya perlu memperjuangkan Surat Keputusan (SK) hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) supaya keamanan hutan mereka benar-benar terjamin, baik dari gangguan pemerintah sendiri atau pihak swasta.
Kegelisahan ini bukan tanpa dasar. Seperti diceritakan sendiri oleh Rukmini, hutan adat desanya pernah terlibat sengketa lahan sejumlah 50 hektare dengan pemerintah melalui PT Adi Dharma dengan dalih bahwa kawasan sengketa termasuk bagian dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).
Gangguan dari swasta pun pernah mengunjungi, yakni oleh pihak yang mengaku asli Ngata Toro dan mencoba untuk mengambil kayu di hutan. Namun, karena ketatnya hukum adat dan tegasnya para perempuan Ngata Toro sebagai garda depan penjaga hutan, proyek pihak bersangkutan berhasil digagalkan.
“Untuk hal-hal teknis-formal seperti inilah, kami merasa perlu mengurus SK. Kalau sudah ada SK, mereka kan tidak punya dalih lagi untuk merusak hutan kami dan semoga SK hutan adat Ngata Toro bisa segera terbit, amin,” tandas Rukmini.