Islam di Keraton Jogja tidak Beda Jauh dari Keislaman Walisongo
Berita Baru, Yogyakarta – Islam yang dipraktikkan di Keraton Yogyakarta tidak berbeda jauh dari Islam di Kerajaan Demak dulu, yaitu Keislaman yang dirintis Walisongo.
Hal ini disampaikan oleh Koordinator Kajian Kawedanan Pengulan Kraton Yogyakarta Amat Ruhullah dalam seminar tentang Al-Quran dan Kebudayaan yang digelar oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) dan Lingkar Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis (LSIQH) Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Annur Yogyakarta, Sabtu (29/1).
Menurut Amat, itu bisa terjadi karena Keraton Yogyakarta adalah lanjutan dari Mataram Islam dan Mataram Islam tidak lain merupakan penerus Kerajaan Demak.
“Dari segi sejarahnya kan Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Lalu, Mataram Islam ini pecah pascaperjanjian Giyanti, menjadi Yogyakarta dan Surakarta,” paparnya dalam diskusi yang dihadiri pula oleh pengganti sementara Dekan Fakultas Ushuluddin IIQ Annur Yuni Ma’rufah.
Adapun tokoh yang berperan penting dalam keberlangsungan tradisi Islam di Mataram Islam adalah Sultan Agung.
Salah satu sumbangsih Sultan Agung kala itu adalah membuat kalender yang khas untuk kerajaannya, yakni dengan menggabungkan penanggalan masehi dan penanggalan Islam.
“Penanggalan ini dibuat agar memudahkan masyarakat untuk mengetahui waktu tanam,” jelasnya.
Meski demikian, Amat melanjutkan, ketika Mataram Islam pecah, tradisi Islam tidak begitu saja luntur.
Amat memberi contoh tentang blangkon dan adanya kajian-kajian keislaman yang masih rutin digelar di keraton.
Blangkon adalah bagian dari kebudayaan Islam keraton yang masih lestari sampai sekarang, meski antara Keraton Surakarta dan Yogyakarta ada perbedaannya.
“Di Keraton Yogyakarta blangkonnya itu ada konde kecil di belakang, sedangkan di Surakarta tidak ada,” kata Amat.
Untuk kajian keislaman, Amat menceritakan tentang tradisi simakan Al-Quran dan Bukhoren atau tradisi membaca Kitab Hadis Sahih Bukhari bersama-sama sekaligus mendiskusikan kandungannya.
Di Keraton Yogyakarta, dua (2) hal tersebut masih rutin dilakukan. Untuk Bukhoren, bahkan Keraton mengundang sekitar 100 kiai pesantren guna menghadiri acara.
“Jadi konsepnya dan apa pun diserahkan pada para kiai dan biasanya menggunakan sistem muqaddaman hadis,” tandasnya dalam diskusi yang digelar di aula utama IIQ Annur ini dengan penerapan protokol yang ketat.