Ironi Pidato Kenegaraan Jokowi, Tidak Menyentuh Keselamatan Rakyat
Beritabaru.co, Jakarta – Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74 tidak menyentuh sama sekali isu-isu keselamatan rakyat dan lingkungan yang terus tergerus oleh laju investasi. Padahal kerusakan ruang hidup akibat produk kebijakan itu sudah dan tengah berdampak buruk bagi puluhan juta rakyat di berbagai daerah di Indonesia.
Banyak kerusakan lingkungan yang nyata dan masif terjadi akhir-akhir ini di mana keselamatan rakyat dipertaruhkan. Salah satunya adalah petaka tumpahan minyak milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina di lepas pantai Karawang Utara, Jawa Barat pada 12 Juli lalu. Peristiwa ini adalah sebuah tragedi kemanusiaan nasional dan lingkungan hidup yang dampaknya kian meluas hingga tiga provinsi, mulai dari Jawa Barat, DKI Jakarta hingga Banten.
“Pidato Presiden Jokowi mengecewakan. Tragedi tumpahan minyak tak mendapat respons apa-apa dari seorang kepala negara. Padahal, pencemarannya telah berdampak buruk bagi sumber pendapatan dan kesehatan nelayan, petambak udang dan petambak garam, termasuk para pelaku pariwisata, serta merusak lingkungan pesisir dan laut,” kata Merah Johansyah, jurubicara KORMAS dan Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
Alih-alih bicara masalah-masalah aktual yang dihadapi masyarakat, Presiden Jokowi memilih membesar-besarkan pentingnya investasi, mendorong kuat deregulasi yang saat ini menghambat investasi dan seolah-olah hal-hal ini membawa rakyat pada kemakmuran.
“Investasi disorong-sorong tapi tidak bicara soal bagaimana keselamatan masyarakat terjamin. Contoh paling akurat dan aktual dari kegagalan mantra investasi Jokowi adalah pencemaran laut oleh Pertamina di perairan Karawang. Kasus ini terkesan ditutupi hingga dua hari setelah peristiwanya baru diungkap ke publik,” kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Dalam kasus pencemaran laut oleh Pertamina, perusahaan negara ini baru mengumumkan kepada publik tiga hari sejak semburan terjadi. Ada masalah serius bagaimana perusahaan negara secara serampangan menjalankan bisnis dan tidak siap ketika terjadi kegagalan.
“Presiden harus bicara soal tumpahan minyak ini dan segera mengambil tindakan hukum hingga rencana pemulihan daerah-daerah terdampak dilakukan. Tindakan hukum ini diperlukan supaya kejadian serupa tidak terulang kembali dan para pelaku yang mengakibatkan pencemaran minyak tidak melakukan kembali tindakan yang sama. Jika tidak, keinginan presiden yang mengajak rakyat melakukan lompatan kemajuan dan kemakmuran justru jatuh pada kerusakan lingkungan yang lebih besar,” kata Dwi Sawung, Pengkampanye Energi dan Perkotaan WALHI Nasional.
“Seharusnya pidato kenegaraan Jokowi mampu mewakili suara rakyat, bukan malah menjadi juru bicara bagi para pemodal yang hanya berbicara tentang keuntungan pasar tanpa melihat dampak yang terjadi. Ini sudah jelas, oligarki merajam demokrasi, di mana permasalahan di Karawang, semenjak 12 Juli hingga 16 Agustus sudah 108.000 barel minyak mentah yang mencemari lautan dan pesisir Karawang, penanganan dari bencana industri ini lambat dan mengancam ekosistem pesisir di semenanjung Karawang. Di satu sisi Karawang sebagai lumbung pangan, tapi di sisi lain lingkungan Karawang terus diancam oleh investasi yang masif,” kata Yuda Febrian Silitonga, Sekretaris Umum Forum Komunikasi Das Citarum (forkadasC+). [Priyo Atmojo/Siaran Pers]