Irisan Tajam Itu Bernama Proselitasi
Berita Baru, Essay – Keberadaan agama di muka bumi menjadikan dua sisi tajam dalam interaksinya dengan manusia. Sisi tajam pertama adalah penyebarluasannya yang sering saling bersinggungan satu dengan lainnya. Itulah proselitasi atau dakwah yang sering dibungkus dengan kerasnya sebuah propaganda.
Sisi tajam kedua adalah penjagaan eksistensinya. Ketika agama bekerjasama dengan kekuasaan yang dengan segala upaya dan cara untuk sebisa mungkin bertahan agar tidak punah. Baik ajarannya ataupun pengaruh kekuasaannya. Propaganda yang menempati sisi tajam pertama bisa berupa segala informasi, ide-ide atau gosip yang disebarluaskan untuk mendukung keberadaan agama tersebut.
Semua agama di bumi tak luput dari usaha propaganda dengan level dan tujuannya masing-masing. Proselitasi bisa kuat dengan aplikasi propaganda yang tepat dan efisien. Dengan tingkat kekuatan sebuah propaganda, agama bisa membalik keadaan ditingkat individu hingga tingkat negara.
Propaganda yang terbungkus dalam sebuah proselitasi di satu sisi memiliki dampak positif yaitu meneguhkan pendirian seseorang dan menjadi negatif apabila ditujukan untuk memberikan gambaran negatif terhadap sesuatu yang dipropagandakan. Dengan begitu, sebuah dakwah atau proselitasi bisa saja memancing kedamaian atau sebaliknya malah memancing konflik.
Proselitasi dengan propaganda negatif sering muncul sebagai isu agama yang sanggup menjadi api pemantik bagi tindakan-tindakan anarkis yang lain. Sisi tajam kedua yang berhubungan dengan proselitasi atau dakwah adalah bagaimana agama tersebut bertahan di muka bumi.
Survival agama yang dilakukan dengan konsepsinya masing-masing, sering juga menjadi sumber kesalahpahaman. Berbicara mengenai eksistensi sebuah agama dalam kaitannya dengan gaya survivalnya, maka kita akan selalu dihadapkan pada kenyataan yang erat hubungannya dengan manifestasi ajaran yang berusaha agar tetap muncul dan terlihat masif di masyarakat.
Salah satu usaha agar terlihat masif dan mudah dikenal di masyarakat adalah dengan sekuat tenaga mempertahankan simbol-simbol agamanya masing-masing. Dakwah atau proselitasi sering menggunakan konsep simbologi dalam survivalnya. Di sinilah sering terjadi persinggungan simbol-simbol proselitasi dalam bentuk pelecehan simbol agama atau paling tidak adanya tindakan yang kurang menghormati simbol agama lain.
Negara Indonesia adalah termasuk negara yang penduduknya majemuk dalam suku, adat, budaya dan agama. Masing-masimg agama diyakini pemeluknya sebagai yang sempurna. Sebagian lainnya memandang agamanya yang paling sempurna. Inilah yang menjadi permasalahan besar dalam sebuah proselitasi atau dakwah. Ketika memandang ajaran agama lain dengan kotak pengasingan atau diskriminasi kesempurnaan.
Ketika berada di wilayah ini, maka proselitasi atau dakwah justru mempunyai karakter yang terbalik. Semestinya menjadikan kehidupan manusia di muka bumi agar selamat dan bahagia menuju kehidupan akhirat yang lebih kekal dan abadi, berbalik menjadi kehancuran yang abadi.
Konsep dakwah atau proselitasi yang memandang agama sebagai jalan yang berbeda-beda menuju sebuah tujuan (the ultimate) yang sama akan membentuk sebuah napas pluralisme, di mana proselitasi atau dakwah tersebut menerima terhadap keragaman yang menghiasi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Ini jauh lebih dari sekedar makna toleransi moral.
Ketika tolernasi hanya sebatas persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, maka pluralisme adalah penerimaan sepenuh hati terhadap pihak lain serta berusaha sekuat tenaga untuk menghindari keseluruhan konflik. Proselitasi atau dakwah yang pluralisme akan mampu melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi atau kelompok.
Proselitasi atau dakwah pluralisme di dalam masyarakat multikultural yang mempunyai keanekaragaman adat dan budaya merupakan modal sosial yang paling berharga bagi terciptanya harmonisasi sosial. Beberapa hal yang dihindari dalam proselitasi atau dakwah pluralisme adalah sebagai berikut.
Yang pertama, dakwah atau proselitasi berupaya untuk menghindari name calling (umpatan). Ini merupakan teknik propaganda negatif yang harus dihindari dalam prosel!tasi atau dakwah. Name calling merupakan teknik proselitasi dengan memberikan sebuah ide atau label yang buruk pada simbol-simbol agama lain.
Tujuan dari name calling adalah agar orang menolak dan menyangsikan ide tertentu tanpa mengoreksi atau memeriksa terlebih dahulu. Salah satu ciri yang melekat pada name calling atau umpatan ini adalah adalah para juru dakwah menggunakan sebutan-sebutan yang buruk atau sesuatu yang berkonotasi negatif terhadap simbol-simbol agama lain.
Hal kedua yang harus dihindari dalam irisan proselitasi adalah glittering generalities (sebutan yang muluk-muluk). Teknik dakwah atau proselitasi ini merupakan propaganda dengan mengasosiasikan sesuatu dengan sesuatu kata bijak yang digunakan untuk membuat kita menerima dan menyetujui hal tersebut tanpa memeriksa terlebih dahulu kebenarannya.
Hal selanjutnya adalah hoax testimonials (kesaksian hoaks) teknik proselitasi ini merupakan propaganda yang berisi kebencian yang dibalut oleh kesaksian palsu.
Kemudian ada model proselitasi atau dakwah yang menggunakan teknik plain folk (identifikasi terhadap suatu ide). Teknik dakwah ini cenderung negatif karena mengambil lahan dakwah agama lain lewat propaganda identifikasi sepihak dan secara tiba-tiba.
Contoh jelasnya, ketika gerak dakwah agama tertentu, tiba-tiba saja masuk ke komunitas agama lain dengan paksa dan mendadak. Mereka seolah bergaul dan bersosialisasi dengan komunitas tersebut, padahal sebelumnya tidak pernah mendatangi komunitas tersebut.
Yang kelima adalah card stacking (menonjolkan hal-hal baik) dengan penumpukan fakta yang meliputi seleksi dan kegunaan fakta logos dan fakta mitos. Proselitasi ini bertumpu pada ilustrasi kebingungan, dan masuk akal yang dicampuradukkan untuk menyerang keyakinan orang lain.
Teknik proselitasi card stacking bisa lebih terperinci dengan beberapa tindakan seperti: beloven (memberikan janji-janji palsu), voorspiegelen (menggambarkan atau membayangkan sebuah kemakmuran yang semu), insinueren (menyindir), serta appeleren aan emoties en interessen (mendongkrak emosional dan fanatisme buta).
Semua tindakan tersebut diulang-ulang sehingga orang yang mendapat proselitasi atau dakwah tersebut akan tergerak dengan keinginan sendiri untuk melakukan sesuatu yang menyebabkan bertingkah laku sesuai dengan pola yang ditentukan oleh juru dakwah.
Itulah beberapa irisan proselitasi antar agama yang harus dihindari jika ingin damai dalam gerak dakwah. Semoga agama-agama di bumi ini damai selamanya. (*)