Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Gambar satelit rinci fasilitas nuklir Dimona Israel saat mengalami peningkatan yang nyata. Foto: Planetlabs.
Gambar satelit rinci fasilitas nuklir Dimona Israel saat mengalami peningkatan yang nyata. Foto: Planetlabs.

Iran Menuduh AS dan Israel Biang Kerok Impian Bebas Nuklir Timur Tengah



Berita Baru, Teheran – Iran menuduh AS dan Israel biang kerok impian bebas nuklir Timur Tengah yang digagas 50 tahun lalu.

Hal itu diungkapakan oleh Duta Besar Iran di AS, Majid Takht Ravanchi pada pertemuan Majelis Umum PBB pada hari Rabu (6/10).

“Di wilayah kami, sikap AS dan rezim Israel di zona bebas senjata nuklir Timur Tengah, yang diprakarsai oleh Iran pada tahun 1974, telah mencegah pembentukan zona semacam itu,” katanya, dikutip dari kantor berita lokal, Tasnimnews.

Komentar Ravanchi menandai kemunduran terkait gagasan yang pertama kali diajukan rezim Shah dalam resolusi yang diajukan di hadapan Majelis Umum PBB pada akhir tahun 1974.

Resolusi tersebut, menurut Sputnik, ditulis di tengah kekhawatiran regional yang berkembang tentang ambisi nuklir Israel, dikemukakan lagi oleh Presiden Mahmoud Ahmadinejad pada tahun 2006, dan oleh mantan Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif pada tahun 2015.

Ravanchi juga menuduh Israel memiliki ‘semua jenis senjata pemusnah massal’ dan mengancam penggunaannya terhadap negara-negara lain di kawasan itu.

Karena itu, Ravanchi mendesak masyarakat internasional untuk memaksa Israel “untuk bergabung dengan semua instrumen terkait, termasuk Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, tanpa prasyarat apa pun saat menerima perlindungan komprehensif dari Badan Energi Atom Internasional.”

Israel tidak menyangkal atau menegaskan memiliki senjata nuklir dalam kebijakan yang dikenal sebagai “ambiguitas nuklir.”

Komentar Ravanchi menandai kemunduran terhadap ide yang pertama kali diajukan rezim Shah, dengan konsep zona bebas nuklir di Timur Tengah yang diajukan oleh Iran dalam resolusi yang diajukan di hadapan Majelis Umum PBB pada akhir tahun 1974. Resolusi tersebut, ditulis di tengah kekhawatiran regional yang berkembang tentang ambisi nuklir Israel, dikemukakan lagi oleh Presiden Mahmoud Ahmadinejad pada tahun 2006, dan oleh mantan Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif pada tahun 2015.

Kesepakatan Nuklir Akan Sia-Sia?

Mengomentari nasib kesepakatan nuklir Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) atau yang biasa dikenal dengan kesepkatakan nuklir Iran 2015, Ravanchi menegaskan bahwa yang melanggar perjanjian dan komitmennya adalah AS dan sekutunya, bukan Iran.

“Pada JCPOA, realitas yang tidak terbantahkan adalah bahwa sampai sekarang, Iran telah mematuhi persyaratan JCPOA sementara UE dan E3 [Prancis, Jerman dan Inggris] telah gagal memenuhi kewajiban JCPOA mereka,” kata Ravanchi.

JCPOA merupakan perjanjian internasional penting yang mengikat pihak Iran untuk mengurangi skala dan ruang lingkup kegiatan pengayaan dan penimbunan uraniumnya sebagai imbalan atas keringanan sanksi.

“Iran berkomitmen untuk implementasi penuh JCPOA asalkan peserta lain memenuhi sepenuhnya komitmen mereka dan mencabut semua sanksi yang tidak adil dengan cara yang cepat dan dapat diverifikasi,” tambahnya.

Ravanchi menolak upaya AS baru-baru ini dalam negosiasi di Wina untuk mengikat program rudal konvensional Iran dengan kesepakatan nuklir, menekankan bahwa kemampuan rudal ‘defensif’ milik Iran ‘dikejar sejalan dengan hak-hak yang melekat dan komitmen internasional kami.’

Pernyataannya muncul setelah komentar Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken kepada timpalannya dari Rusia Sergei Lavrov pada hari Rabu memperingatkan bahwa kembalinya AS ke kesepakatan nuklir Iran bisa segera menjadi sia-sia, mengingat kegiatan pengayaan Teheran yang semakin canggih.

“Mengingat apa yang dilakukan Iran dengan program nuklirnya… kami semakin dekat ke titik di mana hanya kembali ke kepatuhan dengan JCPOA tidak akan mendapatkan kembali manfaat dari perjanjian tersebut,” kata Blinken.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir Abdollahian mengatakan kepada wartawan bahwa Teheran sedang mempersiapkan pembicaraan putaran ketujuh dengan AS dan anggota JCPOA yang tersisa di Wina tentang memulihkan perjanjian secepat awal November.

Pembicaraan Wina dimulai atas inisiatif pemerintahan Biden pada musim semi ketika Biden berusaha memenuhi janji kampanye untuk mengembalikan AS ke kesepakatan nuklir.

Namun, negosiasi telah menemui jalan buntu sejak musim panas, karena baik Teheran maupun Washington tidak terbukti bersedia menjadi yang pertama membuat konsesi.

Iran tidak mau mengurangi kegiatan nuklirnya, dan AS tetap ngotot enggan membatalkan sanksinya. Karena hal ini, banyak pihak menganggap bahwa kesepakatan nuklir Iran 2015 merupakan langkah yang sia-sia.