Industri Asuransi Jiwa Terus Tumbuh, OJK Dorong Penguatan Tata Kelola dan Optimalisasi Kanal Digital
Berita Baru, Jakarta – Industri asuransi jiwa telah menunjukkan perkembangan yang positif selama 5 tahun terakhir dengan rata rata tingkat pertumbuhan asetnya per tahun sebesar 8,67%. Aset serta investasi asuransi jiwa memang sempat tercatat mengalami kontraksi masing masing sebesar -1,63% dan -1,34% secara yoy per Desember 2020.
Namun demikian bersamaan dengan pemulihan aktivitas ekonomi, industri asuransi jiwa kembali tumbuh sebagaimana pada periode pra-pandemi. Terakhir 2021, misalnya, asuransi jiwa nasional kembali mencatatkan kinerja positif yang diindikasikan dengan pertumbuhan aset dan investasi masing masing sebesar 9,27%, 8,20% secara yoy.
Kendati demikian, Riswinandi, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank Otoritas Jasa Keuangan (IKNB OJK) mengingatkan bahwa dengan berbasis konsumen yang semakin luas, maka tentunya akan semakin besar pula tanggung jawab perusahaan asuransi dalam menyediakan produk layanan yang berkualitas bagi nasabah.
Sebagai ilustrasi, survei nasional literasi dan inklusi keuangan tahun 2019 mengungkapkan bahwa hanya sekitar 31,26% responden yang pernah menggunakan layanan jasa keuangan digital dan hanya sekitar 9,9% di antaranya yang menggunakan platform digital untuk membeli produk asuransi secara online.
“Maka dari itu, sejalan dengan nature utama industri yang menyediakan jasa pertanggungan atas risiko yang mungkin terjadi di masa depan maka menjadi penting kepercayaan nasabah itu merupakan modal penting yang tentunya perlu dijaga dengan sebaik-baiknya,” papar Riswinandi dalam Virtual Seminar LPPI ke 78 dengan tema Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat kepada Industri Asuransi Jiwa, Kamis (16/6/2022).
Maka dari itu, Riswinandi mengungkapkan salah satu fokus utama dari program transformasi IKNB yang telah dijalankan selama 5 tahun terakhir adalah penguatan penerapan tata kelola dan manajemen resiko di lembaga jasa keuangan nonbank, termasuk pada perusahaan asuransi jiwa. Menurutnya, kedua hal tersebut merupakan pilar penting untuk menjaga agar pengelolaan kegiatan perusahaan senantiasa dijalankan secara prudent dan bertanggung jawab.
“Dengan dukungan internal kontrol yang optimal serta mekanisme check and balance yang jelas, menjadi penting untuk menjamin kelangsungan usaha perusahaan asuransi dalam jangka panjang, sekaligus juga memastikan bahwa perusahaan asuransi dapat memenuhi janji yang telah diberikan kepada nasabahnya,” jelas Riswinandi.
Pengelolaan Investasi
Riswinandi juga mengatakan bahwa dari hasil pengawasan yang dilakukan selama ini, salah satu proses bisnis di internal perusahaan asuransi yang menjadi perhatian utama adalah pengelolaan investasi atas premi yang dibayarkan oleh nasabah. Selama ini pengelolaan investasi yang tidak dilakukan secara berhati-hati merupakan salah satu penyebab utama perusahaan asuransi mengalami kesulitan likuiditas dan kemudian turut berpengaruh pada tingkat solvabilitas perusahaan.
Dia mencontohkan, salah satu pengelolaan investasi yang tidak dilakukan secara prudent antara lain adalah penempatan investasi pada aset tertentu yang tidak diikuti dengan kajian matang terkait valuasi dan prospek pertumbuhan nilai aset tersebut ke depannya. Selain itu, dalam beberapa kesempatan juga ditemukan penempatan ataupun kasus penetapan investasi yang terkonsentrasi pada pihak-pihak yang terafiliasi atau pada satu pihak lagi. “Akibat penempatan investasi yang tidak terverifikasi secara optimal kinerja investasi perusahaan akan sangat rentan dipengaruhi oleh fluktuasi yang terjadi di pasar keuangan.”
Lebih jauh lagi, pengelolaan investasi yang tidak berhati hati itu juga dipengaruhi oleh pemasaran produk dengan manfaat yang tidak realistis sehingga memaksa perusahaan asuransi untuk menjalankan strategi investasi yang cenderung agresif. Maka proses pengenalan produk harus menggunakan data serta asumsi yang kredibel sebagai dasar penetapan premi dan perhitungan cadangan teknisnya. “Hal ini penting untuk memastikan agar premi yang dibebankan kepada nasabah dan cadangan teknis yang dibentuk oleh perusahaan asuransi benar benar sebanding dengan manfaat yang ditawarkan yang dijanjikan dan resiko yang ditanggung oleh perusahaan asuransi,” jelasnya.
Di sisi lain, lanjut Riswinandi, dalam proses pemasaran, perusahaan asuransi perlu menyesuaikan antara mekanisme pemasaran dengan kompleksitas suatu produk asuransi. Hal ini terkait dengan investasi atau yang lazim disebut unit link. Dia menyebutkan data April 2022 tercatat penerimaan premi unit link mencapai 46,32% dari total penerimaan premi asuransi jiwa. “Namun demikian pengaduan yang kami terima dan pemberitaan di media massa atau media sosial terkait pengaduan atau keluhan nasabah merupakan sebuah reminder yang perlu menjadi perhatian,” pungkasnya.
OJK telah menerbitkan regulasi terbaru terkait dengan PayD untuk memastikan agar ke depannya praktek pemasaran dan pengelolaan dari PayD ini senantiasa dilakukan secara fair, prudent dan transparan. Beberapa hal yang diatur antara lain perusahaan perlu melakukan perekaman untuk memastikan agar tenaga pemasar telah memberikan penjelasan yang benar, lengkap dan jelas kepada calon nasabah terkait dengan manfaat dan risiko dari unit link. “Perekaman pada saat para agen penjual bertemu dan rekaman ini bisa di-connect ke sistem yang ada di perusahaan itu sehingga bisa dilakukan evaluasi,” jelasnya.
Selain itu, perusahaan juga perlu melakukan perbaikan pada alur pemasaran unit link untuk memastikan agar produk tersebut ditawarkan pada kelompok nasabah yang memang sepenuhnya telah memahami manfaat dan resiko yang melekat pada produk asuransi tersebut. “Pemahaman yang harus betul betul disampaikan bahwa ini tujuannya adalah untuk proteksi, bukan untuk menambahkan kekayaan,” katanya.
Selain itu, ada syarat terkait kepemilikan dukungan SDM, infrastruktur dan modal. “Seperti tenaga aktuaria dan ahli investasi. Lalu modal perusahaan minimal 250 miliar bagi asuransi konvensional dan 150 miliar bagi asuransi Syariah,” sebut Riswinandi. Ria menambahkan, saat ini OJK sedang mempersiapkan aturannya untuk pemasaran produk asuransi secara digital yang biasa disebut insurtech. “Karena penjualan secara digital yang dilakukan oleh platform insurtech, ke depan ini dipersyaratan yang boleh melakukan adalah perusahaan yang berbentuk pialang asuransi. Jadi perusahaan yang juga diawasi oleh OJK,” demikian Riswinandi.