Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti dalam Seminar Nasional dan Kajian Tengah Tahun INDEF 2024, Selasa (25/6/2024)
Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti dalam Seminar Nasional dan Kajian Tengah Tahun INDEF 2024, Selasa (25/6/2024)

INDEF Uraikan Tantangan Ekonomi Berat Menanti Prabowo Subianto



Berita Baru, Jakarta – Presiden terpilih Prabowo Subianto akan menghadapi berbagai tantangan ekonomi yang kompleks ketika ia mulai menjabat. Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menguraikan beberapa masalah utama yang diwariskan oleh pemerintahan Presiden Jokowi, yang akan menjadi beban bagi pemerintahan baru.

Dalam Seminar Nasional dan Kajian Tengah Tahun INDEF 2024 bertajuk “Presiden Baru, Persoalan Lama”, yang diadakan pada Selasa (25/6/2024), Esther menjelaskan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi yang menurun menjadi salah satu persoalan utama.

“Padahal kalau kita lihat mesin-mesin pertumbuhan ekonomi tidak hanya konsumsi rumah tangga, tetapi investasi, ekspor, belanja pemerintah, pajak sekaligus transfer daerah,” ujar Esther.

Isu lainnya adalah daya beli masyarakat yang terus menurun di tengah kebijakan fiskal yang ketat. Presiden terpilih telah menetapkan rasio penerimaan negara harus naik menjadi 23%, yang berarti pajak harus ditingkatkan. “Artinya, generate income pajak harus ditingkatkan,” tambahnya.

Esther juga menyoroti kebijakan moneter yang ketat sebagai persoalan ketiga. Kondisi ekonomi saat ini, baik dari sisi fiskal maupun moneter, masih relatif ketat, ditandai dengan tingkat suku bunga yang terus naik dan nilai tukar rupiah yang berfluktuasi pada level sekitar Rp16.400 per dolar AS.

“Sehingga ini adalah kondisi ekonomi yang relatif sulit ini akan menjadi awalan pemerintahan presiden baru nanti,” jelasnya.

Persoalan keempat adalah turunnya fleksibilitas fiskal dengan rasio pajak hanya di kisaran 8%-10% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan rasio utang mencapai 38% terhadap PDB. Ditambah lagi, akan ada kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang mempersempit ruang fiskal.

“Maka ke depan mau tidak mau generate more income atau revenue state harus terus diupayakan,” ungkap Esther.

Kelima, performa industri manufaktur juga mengalami penurunan. Impor bahan baku terus membengkak karena depresiasi nilai tukar rupiah, sehingga industri manufaktur yang bergantung pada bahan baku impor sangat terdampak. Terakhir, fungsi intermediasi keuangan masih terbatas dengan margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) perbankan di Indonesia yang relatif tinggi.

“Apalagi dengan adanya kebijakan tingkat suku bunga tinggi, dan nilai tukar rupiah yang sangat volatil. Hal ini tentu akan menjadi beban pemerintahan presiden terpilih,” tutupnya.