INDEF Sebut 100 Hari Kerja Jokowi-KMA Tanpa Akselerasi Ekonomi
Berita Baru, Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memberikan respon terhadap Kinerja Ekonomi Triwulan IV 2019 yang berada dalam periode 100 hari pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
INDEF menilai laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan IV 2019 kembali melambat, menjadi 4,97% yoy. Capaian pertumbuhan ekonomi ini merupakan yang terendah sejak triwulan IV 2016, dimana pada waktu itu ekonomi tumbuh hanya sebesar 4,94% yoy.
“Dengan laju pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2019 yang semakin melambat ini, maka secara keseluruhan perekonomian Indonesia pada 2019 hanya tumbuh 5,02% yoy, lebih rendah dari target APBN 2019 sebesar 5,3% yoy”. Tutur peneliti bidang ekonomi INDEF, Abdul Manap Pulungan dalam konferensi pers yang digelara pada 6 Februari 2020.
Manap menilai, berbagai momentum yang menyertai aktivitas ekonomi triwulan IV 2019 seperti perayaan Natal, libur tahun baru dan tahun baru, serta hari belanja online nasional (Harbolnas) tidak mampu dimanfaatkan pemerintah untuk mengakselerasi perekonomian.
“Wajah baru tim ekonomi Kabinet Indonesia Maju tidak mampu mengungkit optimisme perekonomian, sehingga realisasinya jauh dari harapan” imbuhnya.
HIlangnya Momentum Triwulan IV
Secara khusus peneliti senior bidang ekonomi tersebut memberikan perhatian terhadap hilangnya momentum pada triwulan IV, yang biasanya selalu menjadi periode yang menjanjikan untuk perekonomian karena terdapat perayaan hari Natal serta libur akhir tahun dan awal tahun.
“Ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi triwulan IV di dua tahun terakhir, dimana pada TW IV 2017 ekonomi tumbuh sebesar 5,19% yoy dan TW IV 2018 tumbuh 5,18% yoy. Bahkan, dalam 20 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi triwulan IV hamper selalu di atas 5% yoy”. Jelas Manap.
Manap juga menyebutkan sektor industri merupakan penunjang utama dalam perekonomian di tengah berbagai kondisi ketidakpastian global, seperti perang dagang, Virus Corona, dan sebagainya.
“5,3% tidak realistis untuk 2020 karena kondisi global tertekan, terutama performa China turun akibat menyebarnya Virus Corona” tutur Manap menjelaskan.
Manap mengatakan industri pengolahan berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga jika terdapat penurunan pada sektor itu, maka untuk mendorong peningkatan PDB akan sulit.
“Kalau industri tidak bisa serap tenaga kerja maka porsi konsumsi akan melemah, penerimaan pajak turun yang artinya shortfall meningkat dan utang bisa meningkat” tutupnya.