Ideologi dan Afirmasi | Catatan Ramadan: Ahmad Erani Yustika
Tiap negara didirikan dengan air mata bukan semata agar memiliki kedaulatan. Bukan cuma hasrat agar pribumi tak lagi menelan apa pun yang disumpalkan ke mulut oleh kaum imperialis militan. Negara merdeka bisa membuat kebijakan, mengelola sumber daya, dan merumuskan masa depan. Meski tak terlalu tepat, istilah “imagined community” yang diperkenalkan oleh Indonesianis tersohor, Ben Anderson, barangkali bisa mewakili bayangan bahagia masyarakat merdeka. Kebangkitan bangsa-bangsa pada awal abad 20 adalah kesadaran melawan ketertundukan. Sejarah kepasrahan mesti dihentikan untuk diganti kisah kesejahteraan.
Terdapat kesadaran lain yang lebih luas dari kedaulatan, yakni menemukan sumber gerak negara merdeka. Negara baru pasti cekak modal, defisit pengetahuan, dan langka pengalaman. Pada tahap paling awal yang dibutuhkan adalah konsensus nilai. Ini tak cukup dirumuskan oleh pengetahuan, tapi dari pedoman nilai. Sistem nilai ini yang disebut ideologi. “An ideology is a collection of ideas or beliefs shared by a group of people. It may be a connected set of ideas, or a style of thought, or a world-view,” tulis filosof Perancis, Destutt de Tracy. Dari sinilah visi politik dirumuskan dan keberpihakan bangsa diputuskan. Ia menjadi identitas negara dan sumber gerak pembangunan.
Perjalanan negara yang berdaulat ditentukan oleh ideologi. AS, misalnya, ideologi yang diyakini berporos kepada kebebasan. Tiap orang lahir dengan atribut kekebasan sehingga mesti dilindungi. Benjamin Franklin berucap: “Freedom is not a gift bestowed upon us by other men, but a right that belongs to us by the laws of God and nature.” Kebebasan menjadi sikap politik dan opsi keberpihakan sehingga menuntun produksi sistem kehidupan, seperti sistem ekonomi dan sosial-politik. Ini pula yang dijalani Indonesia, afirmasi sistem ekonomi dan politik harus turun dari Pancasila (sebagai ideologi bangsa). Jadi, jelas sekali keberpihakan adalah anak kandung ideologi.
Beda soal dengan bantuan. Jika pemerintah sebagai aparatus negara memberi modal kepada nelayan, pelatihan usaha mikro, atau pupuk kepada petani; ini adalah fasilitasi yang turun dari sumber teknokrasi. Afirmasi tidak bercakap soal teknis, namun kompas arah pembangunan. Kejujuran, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan (seluruhnya kompatibel dengan nilai Islam) adalah mata air keberpihakan. Dari situlah sistem ekonomi, politik, sosial, dan hukum diformulasikan. Semuanya mengabdi kepada ideologi. Setelah itu, ruang eksekusi sepenuhnya disangga oleh kapasitas teknokrasi. Ideologi ialah penjaga malam untuk memastikan afirmasi dan teknokrasi bekerja dengan rapi.
Agama kurang lebih juga bekerja dengan cara yang sama. Islam meletakkan tiga tiang kokoh sebagai penyangga tempat bermukim para pengikutnya: akidah, ibadah, muamalah. Akidah merupakan sumber keyakinan dalam beragama. Prinsip utama beragama dipercayai sebagai kredo penyerahan diri, seperti rukun iman. Ibadah adalah relasi hamba dengan Tuhan sebagai wujud perbuatan, baik secara ritual (salat dan puasa) atau pun sosial (zakat dan haji). Sementara itu, muamalah adalah hubungan antara hamba dengan sesama. Relasi ini ditegakkan lewat adab dan akhlak. Akidah bisa dipadankan sebagai sistem nilai, ibadah sebagai afirmasi, dan muamalah sebagai teknokrasi.