ICJR Tunjukkan Penurunan Kebebasan Berpendapat di Indonesia pada Hari Demokrasi Internasional
Berita Baru, Jakarta – Setiap 15 September, dunia memperingati Hari Demokrasi Internasional. Di Indonesia, kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dijamin dalam berbagai instrumen hukum, termasuk Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 19 ICCPR yang sudah diratifikasi. Namun, meskipun jaminan hukum sudah ada, kenyataannya demokrasi di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut laporan Setara Institute 2023, indikator kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia terus menurun sejak 2019, dengan penurunan dari nilai 1,9 pada 2019 menjadi 1,3 pada 2023. Selain itu, data dari Freedom House menunjukkan penurunan indeks demokrasi Indonesia dari 62 poin pada 2019 menjadi 53 poin pada 2023. Laporan Reporters Without Borders (RSF) juga mengungkapkan penurunan skor kebebasan pers Indonesia dari 63,23 poin pada 2019 menjadi 54,83 poin pada 2023.
“Situasi demokrasi di Indonesia semakin mengkhawatirkan,” ujar ICJR dalam postingan instagramnya, @icjrid, pada Minggu (15/9/2024). “Penurunan ini menunjukkan adanya ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat yang merupakan pilar utama demokrasi.”
Penurunan demokrasi di Indonesia juga ditandai dengan meningkatnya kriminalisasi terhadap para pembela hak asasi manusia (HAM), terutama yang terkait dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Berdasarkan laporan SafeNet 2021, dari 38 korban yang terjerat UU ITE, 26 di antaranya adalah aktivis, dengan kasus kriminalisasi paling banyak terjadi pada 2022, yakni 97 kasus selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Aktivis perempuan juga menjadi kelompok yang rentan terhadap serangan dan kriminalisasi. Komnas Perempuan mencatat bahwa dari 19 bentuk kekerasan terhadap aktivis, 10 di antaranya khusus dialami oleh aktivis perempuan, seperti serangan terhadap tubuh dan seksualitas serta kekerasan berbasis peran gender. “Aktivis perempuan mengalami kerentanan berlapis yang berbeda dengan aktivis laki-laki, baik dari segi fisik maupun psikologis,” ungkap Komnas Perempuan dalam laporannya.
Salah satu kasus menonjol adalah yang dialami oleh Christina Rumalatu, seorang aktivis lingkungan dari Maluku. Ia mendapat panggilan dari Badan Reserse Kriminal Polri setelah melakukan protes terhadap penambangan nikel di Halmahera. Christina dituduh melakukan penghinaan dan dijerat Pasal 45 Ayat 4 juncto Pasal 27A UU No. 1 Tahun 2024 tentang UU ITE. Kasus ini menunjukkan bagaimana pembela HAM, terutama aktivis perempuan, semakin rentan dikriminalisasi saat menyuarakan hak-hak masyarakat.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia diharapkan dapat melindungi kebebasan berpendapat dan berkomitmen terhadap perlindungan pembela HAM. “Demokrasi yang sehat membutuhkan keberanian untuk melindungi mereka yang memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia. Kriminalisasi terhadap pembela HAM adalah ancaman nyata bagi demokrasi itu sendiri,” tegas ICJR.
Di tengah peringatan Hari Demokrasi Internasional, berbagai pihak mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi terhadap penerapan undang-undang yang membatasi kebebasan, serta memastikan perlindungan bagi para pembela HAM di Indonesia.