I-EU CEPA Potensi Ancam Hak Demokrasi dan Akses Obat Terjangkau
Berita Baru, Jakarta – Perundingan putaran ke-19 untuk Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (I-EU CEPA) yang berlangsung pada 1-5 Juli 2024, mendapatkan kritik keras dari Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Indonesia AIDS Coalition (IAC). Kedua lembaga tersebut menganggap I-EU CEPA mengabaikan hak-hak demokrasi dan mengancam akses masyarakat terhadap obat-obatan terjangkau.
Direktur Eksekutif IGJ, Rahmat Maulana Sidik, menyatakan bahwa proses perundingan I-EU CEPA seharusnya dihentikan karena tidak mengakomodasi kepentingan rakyat.
“Perundingan ini dilakukan secara tertutup dan tidak memberikan informasi mengenai pokok-pokok perundingan serta dampaknya bagi masyarakat,” ungkap Maulana dalam keterangan persnya yang dikutip Kamis (4/7/2024).
Menurutnya, hal ini melanggar UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mensyaratkan partisipasi publik dalam setiap proses penyusunan kebijakan.
Peneliti Senior IGJ, Lutfiyah Hanim, menambahkan bahwa I-EU CEPA akan berdampak buruk pada akses masyarakat terhadap obat-obatan. Pada bab Kekayaan Intelektual I-EU CEPA terdapat klausul ‘TRIPS Plus,’ yang mencakup perpanjangan masa perlindungan paten dan eksklusivitas data serta pasar, yang dapat menghambat masuknya obat generik ke pasar.
“Pemerintah Indonesia harus menolak proposal Uni Eropa terkait perpanjangan masa perlindungan paten dan eksklusivitas data serta pasar,” ujar Hanim.
Ferry Norila, Koordinator Komunikasi, Kampanye, & Advokasi dari IAC, menjelaskan bahwa monopoli paten atas obat-obatan telah berdampak serius pada akses masyarakat ke obat, terutama untuk penyakit seperti HIV, TB, dan hipertensi paru.
“Perjanjian perdagangan bebas, termasuk I-EU CEPA, memperkuat monopoli, meningkatkan harga obat, dan menghilangkan potensi produksi obat generik,” kata Ferry.
Arni Rismayanti, Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI), mengungkapkan bahwa banyak obat untuk hipertensi paru di Indonesia dijual dengan harga yang sangat mahal. “Sebagai contoh, harga obat Macitentan di Indonesia mencapai 31 juta Rupiah per bulan, sedangkan versi generiknya hanya 1,5 juta Rupiah per bulan,” jelas Arni.
Kelompok pasien sebagai salah satu yang paling terdampak dari perjanjian perdagangan bebas I-EU CEPA menyampaikan penolakan keras terhadap perjanjian ini. “Kami menolak klausul TRIPS Plus di dalam I–EU CEPA. Indonesia sangat mengandalkan obat-obatan generik untuk kebutuhan kesehatan masyarakat,” tegas Ferry Norila.
Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa menargetkan penyelesaian perundingan I-EU CEPA sebelum Oktober 2024. Namun, kelompok masyarakat sipil mendesak agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam perundingan ini dan menolak klausul yang merugikan. “No deal is better than a bad deal,” tutup Ferry.