Hutan Mangrove di Kampung Halaman Antarkan Rianto Wiarta Raih Doktor Beijing
Berita Baru, Sosok — Rinto Wiarta tidak pernah menyangka bahwa hutan mangrove tempat ayahnya melaut di Kubu Raya akan menjadi topik disertasi doktor yang membuatnya lulus dengan bangga dari Beijing Forestry University pada 12 Juni 2025 lalu. Penelitian selama 30 tahun tentang dinamika ekosistem mangrove kampung halamannya tidak hanya mengantarkannya meraih gelar PhD, tetapi juga membuka mata dunia internasional tentang kekayaan alam Indonesia.
“Penelitian ini saya dedikasikan untuk daerah asal saya Kabupaten Kubu Raya yang memiliki potensi ekosistem mangrove terbaik di dunia dan yang sangat penting bagi keberlanjutan lingkungan pesisir dan kehidupan masyarakat lokal,” ungkap Rinto dengan penuh bangga setelah mempresentasikan disertasinya yang berjudul “The Dynamic of Mangrove Forests (1993–2023) in Kubu Raya District, Indonesia: Land Use, Fragmentation Pattern and Driving Factors”.
Bagi Rinto, mangrove bukan sekadar objek penelitian. Sejak kecil, ia menyaksikan langsung bagaimana ekosistem ini menjadi sumber kehidupan bagi keluarganya. Ayahnya, almarhum Muhammad Arni, adalah nelayan yang bergantung pada kesehatan hutan mangrove untuk mencari ikan. “Dari sanalah lahir kecintaan saya terhadap hutan, sekaligus keprihatinan yang mendalam terhadap keberlanjutannya,” kenangnya.
Ketertarikan akademis terhadap mangrove dimulai saat Rinto bekerja sebagai volunteer di World Wildlife Fund (WWF) Indonesia dari 2011-2015. Ia terlibat dalam program monitoring habitat bekantan (Nasalis larvatus) di hutan mangrove Kubu Raya. “Di sinilah saya mulai memahami betapa kompleks dan pentingnya ekosistem mangrove, tidak hanya untuk satwa tetapi juga untuk kehidupan manusia,” ungkapnya.
Pengalaman lapangan yang mendalam kemudian diperkaya dengan keterlibatannya di sektor swasta. Dari 2010-2015, Rinto menjadi Kepala Departemen pengembangan kehutanan dan ekologi di PT. Kandelia Alam, dan 2015-2018 di PT. Bina Ovivipari Semesta—dua perusahaan yang fokus pada pengelolaan hutan mangrove. “Pengalaman di dunia praktis memberikan perspektif yang berbeda tentang tantangan nyata dalam konservasi mangrove,” jelasnya.
Transisi dari praktisi ke akademisi terjadi pada 2018 ketika Rinto bergabung sebagai dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat. Namun, hasratnya untuk mendalami ilmu kehutanan membuatnya memutuskan melanjutkan studi doktoral di Beijing Forestry University pada 2019.
“Belajar bahasa dan budaya baru menjadi tantangan tersendiri, namun juga memperkaya perspektif saya sebagai seorang pelajar internasional,” kenang Rinto tentang tahun pertamanya di Beijing yang dihabiskan untuk program bahasa Mandarin. Tantangan komunikasi, terutama dalam memahami aksen lokal untuk diskusi akademik, membutuhkan kesabaran dan ketekunan ekstra.
Pandemi COVID-19 pada 2020 menjadi ujian terbesar. Rinto mengalami penundaan studi hampir dua tahun dan baru bisa melanjutkan pada September 2022. “Masa ini sangat berat, tapi saya manfaatkan untuk memperdalam literatur dan mematangkan konsep penelitian,” ungkapnya. Bahkan selama pandemi, ia sempat pulang kampung dan membantu orang tua bertani, sambil tetap memantau perkembangan hutan mangrove Kubu Raya.
Proses penelitian dan publikasi juga penuh tantangan. “Beberapa kali naskah saya ditolak oleh editor jurnal internasional, tetapi dari setiap penolakan itu saya belajar untuk memperbaiki diri dan terus mencoba hingga akhirnya berhasil diterima,” ceritanya. Kini, Rinto telah memiliki lima publikasi di jurnal internasional, termasuk penelitian groundbreaking tentang sekuestrasi karbon oleh Rhizophora apiculata muda.
Disertasinya yang menganalisis dinamika hutan mangrove Kubu Raya selama tiga dekade (1993-2023) menggunakan pendekatan multidisipliner, menggabungkan analisis perubahan penggunaan lahan, pola fragmentasi, dan faktor-faktor pendorong perubahan. “Data 30 tahun ini sangat berharga untuk memahami tren jangka panjang dan merumuskan strategi konservasi yang efektif,” jelasnya.
Yang membuat penelitian Rinto istimewa adalah relevansinya dengan isu global. Hutan mangrove diakui sebagai salah satu ekosistem paling efektif dalam menyerap karbon dan mitigasi perubahan iklim. “Kubu Raya memiliki potensi luar biasa sebagai blue carbon ecosystem. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi model untuk kawasan mangrove lain di Indonesia dan dunia,” ungkapnya optimis.
Pengalaman berkesan selama di Beijing tidak hanya soal akademik. “Pengalaman yang paling berkesan adalah saat pertama kali saya melihat salju turun. Bagi saya yang berasal dari daerah tropis, momen itu terasa sangat istimewa,” kenangnya. Rinto juga bangga ketika dinobatkan sebagai mahasiswa internasional dengan kemampuan bulu tangkis terbaik di kampus, yang membantunya memperkenalkan budaya Indonesia.
Kembali ke tanah air dengan gelar doktor, Rinto memiliki visi besar untuk masa depan konservasi mangrove Indonesia. “Ilmu yang saya pelajari selama di Beijing Forestry University bukan semata hanya untuk saya pribadi, melainkan untuk masyarakat yang membutuhkan,” tegasnya. Ia berencana mengembangkan pusat penelitian mangrove di UNU Kalbar dan memperkuat kolaborasi riset internasional.
“Saya ingin berkontribusi dalam pengembangan riset dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat,” ungkap Rinto tentang misinya ke depan. Baginya, gelar doktor bukan akhir perjalanan, melainkan awal dari pengabdian yang lebih besar untuk kelestarian alam Indonesia.
Penelitian Rinto Wiarta membuktikan bahwa kekayaan alam Indonesia layak mendapat perhatian akademik level dunia. Dari hutan mangrove Kubu Raya yang sederhana, lahir kontribusi ilmiah yang mendunia—sebuah pengingat bahwa solusi untuk tantangan global seringkali berasal dari kearifan dan kekayaan lokal yang kita miliki.
“Dengan semangat, dedikasi, dan dukungan dari banyak pihak, saya percaya bahwa perubahan yang lebih baik bisa kita wujudkan,” pungkas peneliti yang kini siap menjadi garda depan konservasi mangrove Indonesia ini.