Hidup Patut | Catatan Ramadan: Ahmad Erani Yustika
Suatu ketika, saat Rasulullah Muhammad SAW sedang sakit dan kondisinya makin lemah, beliau memanggil Aisyah Ra (istrinya) untuk mengambil uang yang pernah dititipkannya. Uang tak seberapa itu tetiba diingat lagi oleh Nabi dan diminta dibagikan kepada yang membutuhkan. “Alangkah malunya aku kepada Allah SWT jika masih menyimpan harta,” begitu kurang lebih yang disampaikan Nabi kepada Aisyah Ra. Bagi Rasulullah, harta tak boleh ditumpuk, justru mesti tersebar merata ke seluruh umat. Harta yang diendapkan hanya akan jadi beban, bukan berkah. Pengadilan hari akhir yang akan melenyapkan.
Sifat dan sikap Nabi itu yang kemudian menjadi ilham ilmu ekonomi dalam menggerakkan pembangunan. Orang yang berkelebihan harta menyimpan ke bank, sementara yang ingin berusaha (tapi tak memiliki modal) meminjam untuk kepentingan investasi. Pabrik dibangun, lapangan kerja tercipta, barang/jasa diproduksi, upah dibagi, kesejahteraan melesat. Ekonomi terus berputar dan makin besar. Upah dibelanjakan dan laba perusahaan ditanamkan (kembali). Sebaliknya, jika harta (uang) hanya disimpan/ditabung, maka investasi macet dan ekonomi kian seret.
Tak cuma berhenti di situ, teladan Nabi juga menyuarakan gentingnya distribusi: menafkahi ke pihak yang tak mampu. Seberapa pun hebat sistem dibangun, tetap ketimpangan akan terjadi. Tiap individu memiliki perbedaan pengetahuan, keterampilan, etos kerja, juga kesempatan. Hasrat mengakumulasi dibolehkan, tapi wajib dikendalikan. Hidup disangga untuk mencukupi kebutuhan, selebihnya hanya perlu dibagikan. Hasrat menguasai tanpa batas ditindih sedalam-dalamnya. Ekonomi berdasarkan kebutuhan akan menciptakan keberkahan, sebab seluruh umat (tanpa kecuali) merayakan kesejahteraan.
Banyak yang lupa, distribusi tidak akan mempan bila cuma dilakukan di hilir. Misalnya, memberikan bantuan pangan, biaya pendidikan/kesehatan, dan aneka subsidi pendapatan. Kebijakan ini penting dan bagus, namun kurang efektif menegakkan pemerataan. Instrumen menekan disparitas wajib dilakukan sejak di hulu, khususnya penguasaan dan kepemilikan atas sumber daya ekonomi yang pokok, yakni modal, tanah, dan keterampilan/pengetahuan. Jika modal atau penguasaan lahan timpang, pasti ujungnya adalah ketidakmerataan. Ini yang kerap dialpakan sehingga disparitas menjadi wajah global pembangunan.
Celakanya, hingga kini praktik ekonomi hanya sukses menumbuhkan, tapi tumpul memeratakan. Tiang yang diajarkan Nabi cuma satu yang ditegakkan. Di dunia, juga di Indonesia, punya paras pembangunan yang sama. Di tanah air ini 1% penduduk menguasai 45% kekayaan (ini sudah ada perbaikan dalam 6 tahun terakhir). Satu korporasi memiliki jutaan hektar lahan. Jutaan petani menjadi buruh karena tanah cuma menjadi impian.
Puasa (ramadan) mengajak umat hidup lebih patut dengan jalan mengendalikan keserakahan (keinginan). Di sini publik akan sampai kepada fatwa Gandhi yang masyhur: “There is a sufficiency in the world for man’s need but not for man’s greed.“