Head to Head Jokowi Vs Megawati dalam Politik Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Politik di Indonesia senantiasa menghadirkan kejutan dan dinamika yang tak terduga. Menjelang momentum penting dalam perjalanan demokrasi tanah air, Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, mengulas perubahan dramatis dalam dinamika politik, khususnya antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Megawati Soekarnoputri.
Ia menggambarkan politik sebagai bungkusan demokrasi modern yang terkadang mengandung unsur tradisional dan bahkan klenik.
Menurut Didik, perubahan tajam dalam dinamika politik ini dapat diidentifikasi dalam momen yang dijuluki sebagai “head to head”, yakni ketika dua tokoh politik utama, dalam hal ini Jokowi dan Megawati, saling berhadapan dalam pertarungan politik.
Didik menerangkan bahwa perubahan ini menjadi terang benderang ketika Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar, yang sebelumnya berdiri di kubu yang sama dengan Megawati, memutuskan untuk merapat ke koalisi yang mendukung Jokowi.
“Jokowi, dengan karisma dan popularitasnya yang menjulang, didukung oleh kebijakan pengucuran subsidi yang signifikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), berhasil membentuk koalisi baru yang membawanya ke dalam pertarungan politik yang semakin intens. Koalisi ini, yang tumbuh atas ‘titah politik’ Jokowi, telah menjadi kekuatan politik yang mampu menghadapi PDIP dan Megawati,” ungkap Didik dalam sebuah ulasan analisis yang diterima Beritabaru.co pada Selasa (15/8/2023)
Namun, Didik juga menyorot potensi pelemahan dari kekuatan politik ini. Setelah penetapan calon presiden selesai dan menjelang akhir masa jabatan kedua Jokowi, perubahan dinamika ini mungkin mengalami fluktuasi dan perubahan yang tak terduga.
Namun, terfokus pada momen “head to head” antara Jokowi dan Megawati, terlihat adanya pergeseran dalam posisi dan peran keduanya. Dalam pandangan Didik, pergeseran ini tercermin dalam bubar dan pecahnya kongsi politik antara keduanya, seiring dengan perubahan status Jokowi dari presiden ke petugas partai.
“Momen ini menyiratkan bahwa status petugas partai, yang mensubordinasikan presiden secara berkesinambungan di hadapan publik, menciptakan dinamika politik yang menarik. Jokowi dan Megawati, yang sebelumnya memiliki peran sebagai king maker untuk calon masing-masing, kini terlibat dalam persaingan politik yang semakin ketat,” tegas Didik.
Didik juga menyoroti posisi PDIP dalam persimpangan politik saat ini. Partai ini kini berada dalam situasi yang kompleks, berhadapan dengan berbagai lawan politik. Partai Golkar, PAN, Demokrat, dan PKS telah mendeklarasikan koalisi masing-masing, meninggalkan PDIP dengan tantangan yang semakin berat.
“Megawati, sebagai figur sentral dalam PDIP, kini menghadapi lawan-lawan berat seperti Surya Paloh dan SBY. Yang menarik adalah munculnya lawan tak terduga dalam sosok Jokowi, yang berhasil membentuk koalisi politik yang solid. Kritik terhadap perubahan ini tak terelakkan, mengingat masalah internal PDIP dan kritik akan sikap yang dianggap arogan,” sambung Didik.
Sementara itu, dalam suasana politik yang semakin kompleks ini, ada pula catatan penting terkait dinamika demokrasi. Didik menekankan bahwa saat ini demokrasi sedang mengalami tantangan serius, terutama saat kekuatan berkuasa mengambil langkah untuk memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga periode dalam UUD 1945.
Meskipun sebagian besar partai tunduk pada gagasan ini, Didik memuji keberanian Megawati dan PDIP sebagai partai terbesar yang menolak dan menjaga integritas demokrasi dengan menolak amandemen yang mengarah ke perpanjangan masa jabatan presiden.
Dalam konteks ini, perubahan dinamika politik, termasuk pertarungan “head to head” antara Jokowi dan Megawati, menjadi cerminan dari kompleksitas politik Indonesia. Dengan berbagai pertarungan dan pergeseran yang terjadi, politik Indonesia semakin mengukuhkan dirinya sebagai arena kompetisi yang semakin menarik untuk diikuti.