Harita Group Kembali Serobot Lahan Warga, Ini Detailnya
Berita Baru, Kendari – Harita Group melalui anak perusahaannya PT Gema Kreasi Perdana (GKP) untuk kesekian kalinya menyerobot lahan milik warga di Roko-Roko Raya, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan video yang diunggah akun Instagram Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) @jatamnas pada Kamis (3/3), warga tampak berkerumun dan saling dorong dengan pemandangan ekskavator di belakangnya.
Terlihat pula ada beberapa ibu yang terduduk letih di tengah kerumunan dan bahkan ada yang jatuh pingsan.
Divisi Hukum Jatamnas Jamil, ketika dihubungi redaksi, membenarkan kejadian tersebut.
Aksi penyerobotan oleh PT GKP pada Kamis (3/3) ini merupakan kelanjutan dari tindakan mereka pada Selasa (1/3), yakni terjadi di lahan La Dani dan Sahria.
Hal itu pun bukan yang pertama. Jatamnas mencatat bahwa hal serupa pernah PT GKP lakukan sebelumnya.
Pertama terjadi pada Selasa, 9 Juli 2019 di lahan milik Ibu Marwah. Mereka menyerobot sekitar pukul 11.00 WITA.
Kedua terjadi pada Selasa, 16 Juli 2019 sekitar pukul 15.00 WITA di lahan Bapak Idris, sedangkan terakhir pada Kamis, 22 Agustus di lahan milik Bapak Amin, Ibu Wa Ana, dan Bapak Labaa.
Asal mula
Berdasarkan konferensi pers Jatam melalui kanal Youtube KontraS, Kamis (3/3), konflik antara warga dan perusahaan bermula dari izin tambang yang dikeluarkan Bupati sebelum Konawe Kepulauan menjadi kabupaten sendiri.
Melky Nahar dari Jatam menyampaikan, sebenarnya dikeluarkannya izin tambang tersebut bertentangan dengan amanat Undang-Undang (UU) pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dua wilayah ini, ungkapnya, tidak diprioritaskan untuk pertambangan. “Namun, pemerintah ngotot agar kekayaan alam di Pulau Wawonii seperti nikel tetap diekstraksi,” paparnya.
Dalam kasus tersebut, PT GKP tidak sendirian. Ada beberapa perusahaan lain yang ikut andil dalam pertambangan di Pulau Wawonii atau Kabupaten Konawe Kepulauan.
“Yang jelas, mereka telah mengancam ruang hidup warga yang mayoritasnya petani dan sisanya bergantung pada sektor perikanan dan kelautan,” jelas Melky.
Penting untuk disampaikan di sini, pada masa awal ketika Kepulauan Konawe baru menjadi daerah otonom, tidak ada Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di dalamnya yang memiliki alokasi ruang untuk tambang.
Namun, lanjut Melky, tidak lama ini, alokasi tambang tersebut muncul. “Ini tentu hasil dari upaya pemerintah dan perusahaan yang telah mengotak-atik RT-RW di Konawe Kepulauan, dengan tanpa melibatkan masyarakat, hingga tiba-tiba ada alokasi ruang untuk tambang,” kata Melky.
Akibat ulah tersebut, ada tiga (3) kecamatan di Kabupaten Konawe Kepulauan telah masuk menjadi ruang pertambangan.
“Dan di sinilah kita saat ini, sampai sore ini upaya penerobosan di lahan La Dani dan Ibu Sahria masih mereka lakukan,” tegasnya.
Dugaan kejahatan PT GKP
Melky menengarai, ada dugaan kejahatan yang telah dilakukan oleh PT GKP. Ini terkait pembangunan Terminal Khusus (Tersus) pertambangan.
PT GKP, ungkapnya, telah membangun Tersus dan bahkan menggunakannya, padahal mereka belum mengantongi rekomendasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tenggara (Sultra).
“Ini melanggar hukum, apalagi kita tahu juga bahwa Tersus dibangun di atas RT dan RW yang alokasinya untuk perikanan tangkap. Semua ini mereka abaikan. Perusahaan tetap jalan dan Tersus terus dimanfaatkan,” jelas Melky.
Adapun untuk penerobosan yang dilakukan pada Kamis (3/3) pagi hingga sore di lahan La Dani, Melky mengatakan mereka turut melibatkan aparat keamanan baik dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atau Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Karena yang melibatkan adalah perusahaan, maka aparat cenderung memihak pada PT GKP. Ini, lanjut Melky, terbukti dari bagaimana ketika terjadi bentrok antarwarga dan dengan orang asing, mereka hanya diam.
Dari peristiwa itu pun, warga yang melawan pertambanga dilaporkan ke polisi. Ada 28 warga dikriminalisasi.
“Ada satu orang masuk penjara dan sudah dibebaskan. Lalu 3 lainnya ditangkap baru, 2 masih ditahan di Polda Kendari, satunya dikeluarkan. Lahan La Dani menjadi incaran perusahaan yang aparat memanfaatkan itu untuk menangkap La Dani beberapa waktu yang lalu dan mereka memproses secara hukum La Dani di Polda Kendari,” paparnya.
Teknik adu domba
Untuk mencapai tujuannya, Melky melanjutkan, PT GKP melakukan berbagai cara. Beberapa darinya adalah dengan mencari pihak ketiga untuk mengklaim tanah yang diincar dan memanfaatkan warga yang pro-pertambangan serta orang asing untuk diadu dengan warga yang melawan pertambangan.
Yang pertama dialami La Dani. Lahan milik La Dani belakangan diklaim oleh seorang perempuan dari Roko-Roko Raya. Perempuan tersebut kemudian mengaku bahwa sudah menyerahkan pada PT GKP.
Ini ganjil, kata Melky. Sebab La Dani memiliki bukti fisik kepemilikan dan rutin membayar pajak.
“Kalau kita cek, lahan yang mereka terobos itu, yang diklaim oleh pihak ketiga, telah dikelola 3 generasi dan tidak pernah ada klaim dan konflik. Pun, hampir semua warga di Wawonii menyatakan bahwa lahan itu adalah milik La Dani dan milik Ibu Sahria. Tapi ketika perusahaan masuk, semuanya mereka otak-atik dengan tujuan pembebasan lahan,” ungkap Melky.
Yang kedua tampak dari bagaimana PT GKP telah merencanakan dan membangun konflik sebelum menyerobot lahan. Pihak yang dihadap-hadapkan adalah warga yang propertambangan dan pihak asing yang masyarakat tidak mengenalnya.
“Mereka memanfaatkan warga yang pro-tambang yang sebetulnya juga korban, juga memanfaatkan orang asing yang tidak dikenal. Jadi sesama warga diadu dan bentrok, sehingga warga yang melawan, konsentrasi perlawanannya dialihkan kepada sesama,” tegasnya.
“Dan sayangnya, tindak kejahatan ini dibiarkan oleh pihak aparat, mereka tidak berbuat apa pun, bahkan mereka ikut bermain dalam perusahaan,” pungkas Melky.