Hari Kebangkitan Nasional: Peluang bagi Generasi Muda untuk Bangkit dari Krisis Identitas dan Literasi
Oleh: Achmad Reza Rafsanjani (Koordinator Duta Damai BNPT Regional Jawa Timur)
Berita Baru, Opini – Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya sekadar seremoni atau perayaan sejarah yang berlalu begitu saja. Ini adalah saat untuk merenung sekaligus mengingatkan bahwa semangat perjuangan dan cinta tanah air yang dimiliki pendiri bangsa harus terus diteruskan dan dihidupkan oleh generasi muda saat ini. Di tengah derasnya arus globalisasi, informasi digital yang melimpah, dan berbagai gejolak sosial politik dalam negeri, generasi muda Indonesia menghadapi tantangan besar: menjaga identitas bangsa dan mencintai tanah air mereka.
Sayangnya, semangat kebangkitan yang pernah menyala kini mulai memudar oleh sikap pesimis yang melanda anak muda. Fenomena seperti #kaburajadulu di sosial media mencerminkan sikap acuh tak acuh dan hilangnya keyakinan akan masa depan negara. Banyak anak muda yang merasa tidak memiliki harapan, cenderung mencari peluang di luar negeri, dan mencemooh keadaan dalam negeri tanpa berusaha menjadi bagian dari solusi.
Namun, para pendiri bangsa berjuang untuk kemerdekaan dengan perjuangan yang tiada henti. Mereka tidak mengenal kata menyerah atau melarikan diri. Di tengah keterbatasan informasi, teknologi, dan pendidikan, mereka tetap memiliki visi yang jelas untuk membangun Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat. Kini, di saat segala kemudahan dan fasilitas tersedia, mulai dari akses pendidikan hingga teknologi digital, justru banyak generasi muda yang tampak kehilangan tujuan.
Salah satu penyebab dari pesimisme ini adalah masalah literasi yang serius. Berdasarkan data UNESCO, minat baca di Indonesia sangat rendah, yakni hanya 0,001%. Ini berarti dari setiap 1. 000 orang, hanya satu yang benar-benar menyukai membaca. Ini adalah situasi yang tidak hanya memprihatinkan tetapi juga berbahaya untuk masa depan.
Dalam Survei Nasional Literasi Digital 2023 yang diprakarsai oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, terungkap bahwa literasi digital di masyarakat Indonesia masih berada pada tingkat menengah, dengan skor 3,54 dari 5. Meskipun angkanya terlihat cukup, laporan ini juga menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis, evaluasi informasi, dan kreativitas dalam menggunakan media digital masih lemah.
Kondisi ini semakin parah dengan banyaknya konsumsi konten hiburan yang dangkal, berita palsu, dan disinformasi di platform media sosial. Banyak remaja menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menjelajahi TikTok atau Instagram, tetapi sangat sedikit yang membaca buku atau terlibat dalam diskusi yang konstruktif. Akibatnya, daya analisis mereka berkurang, dan mereka mudah terpengaruh oleh opini superficial dan provokasi politik, bahkan ideologi radikal.
Masalah literasi ini tidak hanya berujung pada penurunan intelektualitas, tetapi juga berkontribusi pada kenakalan remaja serta keterlibatan dalam perilaku negatif lainnya. Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 2,29 juta remaja (usia 15–24 tahun) di Indonesia pernah mencoba narkoba. Sebagian besar dari mereka menyatakan melakukan hal ini karena rasa bosan, tekanan dari teman sebaya, atau keinginan untuk mencoba media baru akibat kurangnya pendidikan dan pengawasan.
Lebih mengkhawatirkan, tren terbaru menunjukkan peningkatan partisipasi anak muda dalam tindakan terorisme dan aksi bom bunuh diri. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebanyak 47,3% pelaku terorisme berasal dari rentang usia 21–30 tahun. Mereka menjadi sasaran utama kelompok radikal karena dianggap lebih mudah untuk dipengaruhi, memiliki idealisme yang tinggi, tetapi minim pemahaman mengenai literasi dan ajaran agama yang mendalam.
Contoh nyata terjadi pada tahun 2024, saat Densus 88 berhasil menangkap seorang pemuda berusia 19 tahun dengan inisial HOK di Kota Batu, Jawa Timur. Pemuda ini telah melakukan bai’at secara daring kepada kelompok teroris Daulah Islamiyah (ISIS) dan sedang merencanakan aksi bom bunuh diri di dua tempat ibadah. Ia belajar cara merakit bom melalui internet dan menerima ajaran radikal melalui media sosial. Kasus ini menekankan risiko nyata dari lemahnya pengendalian informasi dan minimnya pendidikan kritis serta kebangsaan di kalangan remaja.
Apa yang dapat dilakukan oleh generasi muda saat ini? Jawabannya sederhana namun memerlukan dedikasi: bangkit. Bangkit dari sikap pesimis, dari kemalasan berpikir, dari ketergantungan pada budaya instan, dan dari ilusi dunia maya. Generasi muda saat ini memiliki lebih banyak sarana dan kesempatan dibandingkan generasi pendiri bangsa. Mereka hidup di zaman di mana informasi terbuka, globalisasi, dan revolusi digital membawa banyak peluang untuk belajar, berkarya, dan memberi kontribusi.
Semangat kebangkitan nasional seharusnya dipahami sebagai ajakan untuk membangun kembali identitas bangsa, yang diawali dari diri sendiri. Meningkatkan minat membaca, memperkuat kemampuan literasi digital, membiasakan pola pikir kritis, dan menyaring informasi merupakan langkah konkret untuk memperkuat ketahanan ideologis dan intelektual generasi muda.
Selanjutnya, pendidikan karakter dan nilai-nilai kebangsaan perlu diperkuat kembali, baik di jalur pendidikan formal maupun nonformal. Pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan tokoh masyarakat harus bekerja sama dalam membangun narasi positif tentang Indonesia dan menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas nasional.
Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya sekadar ritual, melainkan panggilan sejarah untuk benar-benar bangkit. Bangkit melawan kebodohan, ketidaktahuan, dan pesimisme. Bangkit untuk mencintai tanah air ini meskipun banyak tantangan, karena cinta sejati tidak hanya muncul saat situasi baik-baik saja.
Jika generasi sebelumnya mampu membangun bangsa ini dari nol tanpa adanya teknologi dan pendidikan yang memadai, maka generasi saat ini seharusnya bisa lebih baik lagi asal bersedia belajar dan berjuang. Jangan menjadi generasi yang hanya bisa mengeluh dan menghindar. Jadilah generasi yang bangkit, peduli, dan berada di garis depan perubahan.
Indonesia menantikan kebangkitan dari generasi mudanya. Bukan dengan sekadar hashtag, tetapi dengan tindakan nyata.