Hapus Ambang Batas Parlemen di Indonesia: Perlukah?
Opini : Arif Adiputro
Peneliti Indonesian Parliamentary Center
Pasca era reformasi muncul sentimen negatif dikalangan masyarakat terhadap kelembagaan legislatif dalam hal ini DPR RI, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga survey memunculkan angka bahwa DPR adalah lembaga yang tidak dipercayai oleh masyarakat, ini sungguh ironis mengingat DPR adalah kepanjangan tangan dari rakyat untuk mewakili guna mengawasi kinerja pemerintah. Hal ini menjadi wajar mengingat anggota DPR RI tidak representatif ini bisa dilihat Pemilu 2009 hingga 2024 banyak suara terbuang sia-sia ini dikarenakan partai politik peserta pemilu tidak lolos ambang batas 4 persen. ada tanggal 28P Februari 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4% suara sah nasional dalam Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya. Keputusan ini menandakan perubahan signifikan dalam sistem pemilu di Indonesia dan memiliki implikasi yang luas bagi demokrasi Indonesia.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak luput menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Ada beberapa orang menilai dengan ambang batas, hanya partai-partai besar yang memiliki basis massa yang kuat yang dapat lolos ke parlemen. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan sistem kepartaian yang lebih stabil dan efektif. Kemudian parlemen dengan jumlah partai yang lebih sedikit akan lebih mudah dalam menjalankan tugasnya, seperti legislasi dan pengawasan terhadap pemerintah dan terlalu banyak partai di parlemen dikhawatirkan dapat menyebabkan fragmentasi politik dan mempersulit proses pengambilan keputusan.
Sementara itu, penentang ambang batas parlemen berargumen bahwa aturan ini, Rakyat tidak memiliki banyak pilihan dalam memilih wakil rakyatnya karena hanya partai-partai besar yang dapat mengikuti pemilu. Kemudian partai-partai kecil yang mewakili kelompok minoritas akan semakin sulit untuk mendapatkan kursi di parlemen dan sistem politik yang didominasi oleh partai-partai besar dapat membuka peluang bagi oligarki dan mempersempit ruang demokrasi. Melihat hal tersebut tentu Indonesia parlu belajar dari dari negara lain yang memiliki pengalaman menghapus ambang batas parlemen dan dampak yang akan ditimbulkan jika sistem penghapusan ambang batas parlemen akan dilakukan.
Penghapusan Ambang Batas Parlemen di Selandia Baru
Pada tahun 1993, Selandia Baru melakukan perubahan besar pada sistem pemilunya dengan menghapus ambang batas parlemen. Sebelumnya, sistem pemilu Selandia Baru menggunakan sistem first-past-the-post (FPTP) dengan ambang batas 4%.
Alasan Penghapusan ambang batas parlemen :
- Ketidakadilan Sistem FPTP: Sistem FPTP dikritik karena tidak adil dan tidak proporsional. Suara yang terbuang sia-sia (suara yang diberikan kepada kandidat yang tidak memenangkan kursi) bisa mencapai 40%.
- Kurangnya Representasi: Sistem FPTP menyebabkan kurangnya representasi kelompok minoritas dan partai kecil.
- Dominasi Dua Partai: Sistem FPTP mendorong dominasi dua partai besar, yaitu Partai Nasional dan Partai Buruh.
Penghapusan ambang batas parlemen di Selandia Baru merupakan hasil dari proses yang panjang dan bertahap. Pada tahun 1986, sebuah komisi kerajaan dibentuk untuk meninjau sistem pemilu. Komisi tersebut merekomendasikan penghapusan ambang batas parlemen dan penerapan sistem pemilu proporsional.
Pada tahun 1990, sebuah referendum diadakan untuk menanyakan kepada rakyat Selandia Baru tentang sistem pemilu yang mereka inginkan. Hasil referendum menunjukkan bahwa 54% rakyat mendukung penghapusan ambang batas parlemen. Pada tahun 1993, parlemen Selandia Baru meloloskan undang-undang yang menghapus ambang batas parlemen dan menerapkan sistem pemilu proporsional. Dampak Penghapusan ambang batas parlemen di Selandia Baru memiliki beberapa dampak positif, seperti:
- Meningkatnya Representasi: Jumlah partai di parlemen meningkat dari 3 menjadi 9. Hal ini menyebabkan representasi yang lebih baik bagi kelompok minoritas dan partai kecil.
- Pemerintahan Koalisi: Penghapusan ambang batas parlemen mendorong pembentukan pemerintahan koalisi. Hal ini menyebabkan pemerintahan yang lebih stabil dan akuntabel.
- Meningkatnya Partisipasi Politik: Partisipasi politik di Selandia Baru meningkat setelah penghapusan ambang batas parlemen.
Penghapusan ambang batas parlemen di Selandia Baru merupakan contoh sukses reformasi sistem pemilu. Hal ini telah meningkatkan representasi, akuntabilitas, dan partisipasi politik di Selandia Baru.
Penghapusan Ambang Batas Parlemen di Afrika Selatan
Pada tahun 1994, Afrika Selatan menghapus ambang batas parlemen sebagai bagian dari transisi negara tersebut menuju demokrasi. Sebelumnya, sistem pemilu Afrika Selatan didasarkan pada apartheid dan hanya orang kulit putih yang diizinkan untuk memilih.
Alasan Penghapusan:
- Penghapusan ambang batas parlemen dimaksudkan untuk membangun demokrasi yang inklusif dan representatif bagi semua orang Afrika Selatan, regardless of race or ethnicity.
- Diharapkan penghapusan ini akan mendorong persaingan politik yang lebih sehat dan akuntabel.
- Sistem pemilu proporsional dengan ambang batas 0% memungkinkan kelompok minoritas untuk mendapatkan kursi di parlemen dan mewakili suara mereka.
Proses Penghapusan:
Penghapusan ambang batas parlemen di Afrika Selatan merupakan hasil dari negosiasi panjang dan rumit antara berbagai pihak politik. Negosiasi ini difasilitasi oleh Nelson Mandela dan African National Congress (ANC).
Pada tahun 1993, sebuah konstitusi baru disahkan yang mencantumkan sistem pemilu proporsional dengan ambang batas 0%. Konstitusi ini juga menetapkan bahwa parlemen Afrika Selatan akan terdiri dari dua majelis: Majelis Nasional dan Dewan Provinsi.
Penghapusan ambang batas parlemen di Afrika Selatan memiliki beberapa dampak positif, seperti:
- Jumlah partai di parlemen meningkat dari 4 menjadi 19. Hal ini menyebabkan representasi yang lebih baik bagi kelompok minoritas dan partai kecil.
- Penghapusan ambang batas parlemen mendorong pembentukan pemerintahan koalisi. Hal ini menyebabkan pemerintahan yang lebih stabil dan akuntabel.
- Partisipasi politik di Afrika Selatan meningkat setelah penghapusan ambang batas parlemen.
Penghapusan ambang batas parlemen di Afrika Selatan merupakan langkah penting dalam membangun demokrasi yang inklusif dan representatif. Meskipun terdapat beberapa tantangan, penghapusan ini telah memberikan banyak manfaat bagi demokrasi Afrika Selatan.
Perlukah Ambang Batas Parlemen Dihapus di Indonesia?
Berkaca dari dua negara tersebut yakni Afrika Selatan dan Selandia Baru, Ambang batas parlemen mempersulit partai-partai kecil yang mewakili kelompok minoritas untuk mendapatkan kursi di parlemen. Hal ini menyebabkan marginalisasi dan kurangnya representasi bagi kelompok-kelompok tersebut. Penghapusan ambang batas parlemen akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi mereka untuk didengar dan diwakili dalam proses pengambilan keputusan. Parlemen dengan banyak partai sering disalahartikan sebagai penyebab inefisiensi. Kenyataannya, banyak faktor lain yang berkontribusi pada inefisiensi, seperti kurangnya akuntabilitas dan budaya korupsi. Penghapusan ambang batas parlemen, dengan diiringi reformasi lain, dapat membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan.
Indonesia bisa belajar dampak positif dari ambang batas parlemen, yakni setiap warga negara memiliki hak untuk memilih wakil rakyatnya. Selama ini ambang batas parlemen membatasi hak masyarakat yang memilih kandidat tersebut dengan jumlah suara yang cukup banyak namun terhalang ambang batas sehingga caleg dengan suara terbanyak tidak bisa mewakili suara tersebut ke DPR RI dan pada akhirnya partai-partai kecil yang mewakili suara minoritas tidak tersalurkan dalam proses kebijakan nantinya. Dengan penghapusan ambang batas parlemen akan memberikan pilihan yang lebih luas bagi rakyat dan memungkinkan suara mereka didengar lebih lantang. Demokrasi yang sehat membutuhkan keragaman dan pluralitas, tentu suara-suara ini tidak di dominasi oleh partai-partai besar dan memungkinkan lebih banyak partai untuk mendapatkan kursi di parlemen sehingga meningkatkan representasi dan akuntabilitas.
Kepercayaan publik terhadap DPR RI rendah salah satu faktornya adalah kurangnya representasi dan akuntabilitas. Penghapusan ambang batas parlemen dapat membantu membangun kembali kepercayaan publik dengan memberikan suara yang lebih besar kepada rakyat dan meningkatkan akuntabilitas. Penghapusan ambang batas parlemen bukanlah solusi ajaib untuk semua masalah demokrasi di Indonesia. Namun, hal ini merupakan langkah penting untuk memperkuat demokrasi, melindungi hak konstitusional rakyat, dan meningkatkan representasi dan akuntabilitas dalam sistem politik mengingat begitu beragamnya bangsa indonesia sehingga perlu juga mereformulasi ulang ambang batas parlemen di Indonesia agar tidak dinikmati oleh elit politik dan tidak hangusnya suara rakyat pada pemilu berikutnya.