Hanya Dapat 1 Dukungan, AS Gagal Perpanjang Embargo Senjata Iran
Berita Baru, Internasional – Pada hari Jumat (14/8), Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan tegas menolak seruan resolusi dari Amerika Serikat (AS) untuk memperpanjang embargo senjata global terhadap Iran setelah para anggota melakukan pemungutan suara.
AS hanya mendapat dukungan dari Republik Dominika atas resolusinya untuk memperpanjang embargo senjata atas Iran tanpa batas waktu,–membuat AS jauh dari sembilan suara ‘ya’ yang diperlukan untuk menyetujui seruan itu.
Yang mencengangkan adalah, sebelas anggota dari 15 anggota DK PBB, termasuk Prancis, Jerman dan Inggris–yang ‘dekat’ dengan AS–memilih abstain.
Sementara, Rusia dan China dengan konsisten sangat menentang perpanjangan embargo senjata atas Iran.
Menurut perjanjian JCPOA atau kesepakatan nuklir 2015 yang ditandatangani antara Iran dan enam kekuatan dunia, embargo senjata Iran akan berakhir pada 18 Oktober 2020.
Di bawah perjanjian nuklir Iran 2015, Iran setuju untuk membatasi program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi dan manfaat lainnya.
Menanggapi kekalahan itu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan bahwa DK PBB gagal mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional.
“Kegagalan Dewan Keamanan untuk bertindak secara tegas dalam mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional tidak bisa dimaafkan,” katanya dalam sebuah pernyataan, dilansir dari Aljazeera.
“Israel dan enam negara Teluk Arab yang mendukung perpanjangan itu tahu bahwa Iran akan menyebarkan kekacauan dan kehancuran yang lebih besar jika embargo berakhir … tetapi Dewan Keamanan memilih untuk mengabaikan mereka,” imbuh Pompeo.
Sementara itu, duta besar China untuk PBB Zhang Jun mengatakan hasil pemungutan suara itu menunjukkan bahwa unilateralisme tidak mendapat dukungan dan intimidasi akan gagal.
Snapback pun Gagal
Atas hasil dari pemungutan suara itu, AS sekarang dapat menindaklanjuti ancaman untuk memicu kembalinya semua sanksi PBB terhadap Iran menggunakan ketentuan dalam kesepakatan nuklir.
Bahkan AS dianggap tidak bisa lagi menggunakan ‘langkah terakhir’ mekanisme snapback atau mekanisme yang memberlakukan sanksi kembali secara otomatis.
Mekanisme snapback terjadi jika DK PBB tidak memberikan suara dalam waktu 30 hari untuk melanjutkan sanksi kepada Iran, maka sanksi sebelumnya akan diberlakukan.
Washington, atas intruksi dari Presiden Donald Trump, secara sepihak telah menarik diri dari perjanjian JCPOA dan mulai memberlakukan sanksi-sanksi keras kepada Iran, termasuk sanksi ekonomi.
Sebelum pemungutan suara itu, pada hari Kamis (13/8), AS mengeluarkan sebuah memo kepada anggota DK PBB. Memo enam halaman itu menguraikan mengapa Washington tetap menjadi peserta dalam perjanjian nuklir Iran 2015 dan karenanya AS masih memiliki hak untuk menggunakan ketentuan mekanisme snapback (sanksi kembali secara otomatis).
Jika Dewan Keamanan tidak memberikan suara dalam waktu 30 hari untuk melanjutkan pemberian sanksi, sanksi yang diberlakukan berdasarkan resolusi PBB sebelumnya akan diberlakukan kembali.
Dalam sebuah pernyataan setelah pemungutan suara, Duta Besar AS untuk PBB Kelly Craft mengatakan Washington memiliki ‘hak untuk memulai’ mekanisme snapback.
“Dalam beberapa hari mendatang, Amerika Serikat akan menindaklanjuti janji itu untuk tidak berhenti memperpanjang embargo senjata,” kata Craft.
Sementara itu, Duta Besar Iran untuk PBB Majid Takht Ravanchi memperingatkan AS agar tidak mencoba memicu kembalinya sanksi dengan memanfaatkan mekanisme ‘snapback’.
“Pengenaan sanksi atau pembatasan apa pun terhadap Iran oleh Dewan Keamanan akan sangat dipenuhi oleh Iran dan pilihan kami tidak terbatas. Dan Amerika Serikat dan entitas apa pun yang dapat membantu atau menyetujui perilaku ilegalnya akan memikul tanggung jawab penuh,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Bencana Diplomatik AS
Kristen Saloomey dari kantor berita Aljazeera melaporkan dari New York bahwa kekalahan AS pada pemungutan suara itu bukanlah kejutan, namun yang mengejtkan adalah ‘tawaran AS gagal total’.
“Setiap pihak dalam perjanjian nuklir dapat melakukan mekanisme ‘snapback’ jika Iran dianggap melanggar perjanjian tersebut. Tetapi Rusia dan China mengatakan penarikan AS dari kesepakatan [JCPOA] dua tahun lalu berarti [AS] telah kehilangan haknya untuk melakukan itu. Anggota dewan yang lain tampaknya setuju,” katanya.
Bahkan sekutu AS di Eropa telah menyatakan beberapa keraguan tentang senjata konvensional yang masuk ke Iran hingga memilih untuk abstain dan tidak mendukung AS, meskipun di sisi lain mereka juga khawatir tentang senjata nuklir Iran.
Di bawah perjanjian nuklir Iran 2015, Iran setuju untuk membatasi program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi dan manfaat lainnya.
Menyusul penarikan AS dan penerapan sanksi sepihak, Teheran telah mengurangi kepatuhan dengan bagian-bagian dari perjanjian itu. Para diplomat mengatakan pemicuan ketentuan “snapback” akan menempatkan perjanjian yang rapuh itu lebih berisiko karena Iran akan kehilangan insentif besar untuk membatasi kegiatan nuklirnya.
Jarret Blanc, rekan senior di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan kepada Aljazeera bahwa seruan resolusi perpanjangan embargo senjata AS kepada Iran yang gagal sama dengan ‘bencana diplomatik.’
“Ini menunjukkan bahwa Presiden Donald Trump dan timnya tidak hanya buruk dalam strategi mendekati Iran, mereka juga buruk dalam taktik diplomasi sehari-hari. Tidak masuk akal bahwa AS tidak dapat mengumpulkan lebih dari satu suara untuk satu suara resolusi seperti ini,” kata Blanc.
Tetapi beberapa analis mengatakan ini merupakan salah satu strategi dari AS untuk membatalkan perjanjian secara menyeluruh.
“Faktanya adalah bahwa semua orang di PBB percaya [resolusi] ini hanyalah awal dari upaya AS untuk memicu pembatalan dan menenggelamkan kesepakatan nuklir Iran,” kata Richard Gowan, pakar PBB di International Crisis Group, mengatakan kepada kantor berita AFP.
Upaya Rusia Untuk Hindari Eskalasi
Sementara pemungutan suara tentang rancangan resolusi AS sedang berlangsung, Presiden Rusia Vladimir Putin menyerukan pertemuan para pemimpin dari lima anggota tetap DK PBB (Amerika Serikat, Britania Raya, China, Prancis dan Rusia) bersama dengan Jerman dan Iran untuk menghindari eskalasi upaya AS untuk memperpanjang embargo senjata Iran.
Dalam pernyataan yang dirilis oleh Kremlin, Presiden Putin mengatakan pertemuan itu sangat “mendesak”.
“Pertemuan itu untuk menguraikan langkah-langkah untuk menghindari konfrontasi dan memperburuk situasi di Dewan Keamanan PBB,” imbuh pernyataan dari Kremlin.
“Jika para pemimpin pada dasarnya siap untuk melakukan pembicaraan, kami mengusulkan untuk segera mengoordinasikan agenda,” kata Presiden Putin.
“Alternatifnya adalah dengan lebih membangun ketegangan, untuk meningkatkan risiko konflik. Perkembangan ini harus dihindari,” imbuh Presiden Putin.
Pada gilirannya, Presiden Trump ketika ditanyai wartawan tentang kekalahan AS dan undangan pertemuan dari Rusia itu, ia mengatakan: “Saya mendengar ada sesuatu, tapi saya belum diberitahu tentang itu.”
Sementara itu, Kantor Presiden Prancis Emmanuel Macron mengkonfirmasi akan bersedia hadir dalam pertemuan yang ditawarkan Presiden Putin. “Kami di masa lalu telah menyebarkan inisiatif dengan semangat yang sama,” katanya.