Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Jeli Manalu
Ilustrasi: Pratially Whole

Hampir Sampai | Cerpen Jeli Manalu



“Sudah sampai mana?” Sebuah pertanyaan dari telepon.

Lalu bermunculan hal menjengkelkan. Aroma-aroma tubuh memualkan. Rengekan batita balita. Orang buang air besar dan kecil, atau mereka yang butuh beli ini itu. Saat Nam Lin meminta apakah laju bus masih bisa ditambah lagi, Timus, lelaki yang semasa kecil sering dibawa Kakek ke pesta-pesta itu segera tersadar: Ia tak pernah bermimpi menjadi sopir. 

Dua tangan dengan jari-jari gemuk terberkati di depan perutnya kini tak sekalipun ia cita-citakan supaya berkutat di seputar jok kemudi. Mengganti-ganti posisi persneling. Mengiri-ngirikan setir karena penumpang bergantian turun. Menariklepaskan rem tangan. Membuat klakson panjang penanda rasa gondok akibat penumpang yang turun lama sekali supaya kembali ke dalam bus.

Kepada rombongan itu Timus berharap ada sesekali memikirkan perasaan sopir yang tak pernah menginginkan dirinya bernasib menjadi sopir. Seseorang di bangku belakang, yang pahanya tampak resah gelisah pastilah ingat benda miliknya tukang kencing. Benda semacam itu jelas tidak bisa diajak kompromi. Dikit-dikit sudah tak tahan. Dikit-dikit hampir basahi celana. Seorang lain di dekat jendela, tentulah juga hafal tengkuk maupun dadanya gampang masuk angin. Ada orang kepalanya mudah pusing. Ada mulut gampang muntah. Timus merasa orang macam mereka ini tak mengapa bila menitipkan kado atau amplop saja melalui sesama undangan yang minim keluhan perjalanan. Boleh pula langsung menyerahkan kepada pemilik pesta selagi belum berangkat ke tempat calon besan yang menjadi tuan rumah.

Contohlah istri Timus, tak pernah ada dalam rombongan bus. Timus bersyukur perempuan itu tahu diri. Kepala Timus tak disesaki keluhan punggung nyeri sehingga bus tak harus berhenti 20 menit tiap dua jam agar bisa menelentangkan badan. Namun, sebagaimana Timus punya tujuan sehingga mengusahakan selalu datang ke pesta, rombongan di belakangnya juga sama. Ada ingin berjoget di pesta. Ada rindu dengan rambut disasak. Kuku dikuteks merah atau ungu atau biru—oh, betapa kuku-kuku dekil itu bisa tertutupi. Wajah ber-make-up menimbulkan kesan bukan seperti wajah sendiri—saat berubah jadi seperti muka artis A atau B—itu menyenangkan hati untuk waktu yang cukup lama.

Timus senang ke pesta sebagaimana rombongan itu, meski untuk bisa ke sana ia dapatkan dengan menjadi sopir yang tak ia sukai. Kebiasaan pergi ke pesta ini tumbuh sejak Kakek rajin mengajak Timus. Sepulang dari satu pesta—masih dalam bus pembawa rombongan—ia menanya-nanyai Kakek kapan dan di mana lagi pesta selanjutnya. Timus melihat gadis berlesung pipi disoraki tamu undangan. Bukan sebab si gadis berbuat hal tercela, melainkan dua tangannya lihai memainkan tagading. Pukul kiri. Pukul kanan. Pukul dari kiri dan kanan bertemu tengah-tengah. Tamu joget-joget. Dalam barisan tamu, Timus berjoget sampai cucur keringat dan itu semacam gongnya dalam pesta.

Saat umur tujuh belas, Timus mengaku cinta mati main alat musik itu. Kakek dengarkan ocehannya. Timus cerita, saat tamu berjoget dan tanpa sungkan minta pemusik memainkan tambahan lagu, ia terpancing untuk main tagading lagi-main tagading lagi. Bukan seperti saat dirinya sopir yang semakin banyak permintaan orang-orang ia harus elus-elus tangan supaya tangan itu tabah.

Puluhan orang dalam bus puluhan macam maunya. Nam Lin, si empunya pesta yang menyewa bus agar sampai ke rumah besan sebagai tuan rumah pun dituruti. Laju bus ditambah. Hampir sampai di titik puncak kemampuan segenap jiwa raga bus. Raungan. Decitan. Campur aduk dengan suara-suara di bangku penumpang. Campur aduk dengan macam aroma dari tubuh. Ketiak tak berdeodoran. Mulut dengan gigi belum disikat. Ludah dalam kantung plastik. Bau kencing balita. Bau tahi batita.

Timus bilang kepada Nam Lin hanya mengurangi kecepatan ketika roda kendaraan bertemu jalanan tertentu. Lubang-lubang. Tikungan. Perempatan. Keramaian. Atau saat anggota rombongan ada mau. Seperti menit sebelumnya Ture minta tolong supaya bus berhenti di tepi hutan tusam. Ture terdesak kencing. Anggota rombongan lain ikut-ikutan kencing. Timus mengelus-elus tangannya agar tak ngambek karena tangan itu harus tiba di pesta meski senantiasa tak bermain tagading.

Nam Lin merepet. Nam Lin gondok. Ture terlalu lama supaya kembali ke bangkunya. Lebih dari empat kali Ture minta singgah sejak bus berangkat. Itu belum termasuk mampir SPBU saat bus isi solar lalu ia izin ke toilet. Setelah disusul, Ture setengah menjerit. Katanya ia malah ingin berak saat sudah pakai celana. Sedangkan penumpang lain malah kesempatan untuk ini itu. Uli minta singgah di toko buah. Bukan mau makan bulir jeruk manis. Tetapi memencet-mencet kulit jeruk itu ke sekitar hidung agar terhindar dari oyong dan perasaan ingin muntah.

Nam Lin ngomel lagi. Merepet lagi. Telinga Timus penuh nyaris meledak. Pagi jam 05.45. Calon mempelai wanita menelepon Nam Lin, memastikan posisi rombongan ibunya itu sudah di mana. Jam 06.05, calon besan Nam Lin bertanya sembari menceritakan bila perempuan itu sedang didandani bersama calon menantu, dan roncean melati yang akan mereka kenakan di sanggul sama persis.

Sebelum berangkat tadi malam Nam Lin bilang kepada putrinya bila rombongan akan tiba paling lama 06.30. Sementara jadwal kerangkatan justru molor sebab satu penumpang butuh tidur tiga puluh menit agar dalam perjalanan tidak kambuh migrainnya. Kesempatan dijanjikan Nam Lin tinggal satu jam lima belas menit. Kenyataan mereka baru akan sampai sekitar dua jam lagi. Itu kalau semua penumpang pulas tertidur sehingga perjalanan mulus tanpa hambatan.

“Gimana, Timus, bisa dicepatkan dikit lagi? Aku masih harus mandi, gosok gigi, di-make-up, disasak. Aduh!” Nam Lin mengoceh sambil menghentak-hentakkan kaki.

Timus tak menanggapi. Ia fokus menahan napas dari bau ketiak Nam Lin yang kelewat menyengat. Selain itu, bau iler perempuan gemuk di samping Timus yang saat ini mendengkur-dengkur keras membuat Timus ingin mati. Ia tak suka bermacam-macam bau diproduksi tubuh manusia, kecuali tubuhnya sendiri. Bau ketiak, napas busuk, iler, atau mungkin bau pantat tak sempat dicebok karena klakson bus sudah menjerit panjang menyuruh penumpang kembali masuk ke dalam bus. Timus mengeluh. Ia ingin teriak mengenai tidak enaknya ke pesta dengan cara menjual jasa sebagai sopir pengantar rombongan—dari kecil, ia tak bercita-cita menjadi sopir. Walau orang-orang mengakuinya sebagai sopir idola oleh kesabarannya, ia tetap tak membiarkan dirinya merasa terharu. Ia tidak ingin benar-benar jatuh cinta kepada profesi itu. Sejak Kakek rajin membawanya ke pesta-pesta lalu suatu hari wali kelas menyuruh seluruh murid membuat profil tentang diri mereka, pada kolom isian cita-cita, Timus menulis pemain tagading.

Bermain tagading baginya menyenangkan. Waktu itu ia langsung mencari tahu tempat latihan si gadis berlesung pipi. Timus menemukannya. Bila sedang latihan, ia duduk-duduk di pintu untuk menonton. Diperhatikannya tangan dan bagaimana si gadis memukul gendang-gendang tagading.

“Boleh kucoba?” pintanya, pertama kali.

Si gadis membolehkan. Dimulai dari memukul satu per satu gendang tagading, ia menyimak bunyi yang timbul ketika alat musik itu dipukul. Bunyi yang mungil nyaring. Sedikit lebih besar. Makin besar. Lebih besar. Dalam memainkan tagading ia bisa melepaskan emosi akan teman satu kelas ditaksirnya yang malah pacaran dengan anak dari sekolah lain. Luka hatinya terobati manakala memukul cepat dan keras. Ia tidak seperti ketua kelasnya, Tigor, yang meninju dinding sampai tangan berdarah hanya karena gadis yang disuka lebih memilih ketua kelas di kelas lain. Timus bisa memukul tagading sampai puas tanpa seorang pun bisa menghentikannya. Berbeda dengan permintaan menyebalkan dalam bus yang tak lagi dongker namun harus dituruti karena kontrak menjadi sopir pengantar rombongan pesta sudah di-OK-kan, dan karena melalui jalur inilah memang ia bisa bernostalgia dengan cita-cita gagal terwujud itu.

Satu hari, ia membuat kesalahan. Tidak diingatnya Kakek minta dibelikan pil anti mabuk di kota (saat semakin tua, ternyata Kakek mulai sering mabuk dalam bus). Timus pergi ke kota. Setiba di sana terbacanya spanduk bertuliskan audisi mencari pemain tagading. Yang apa bila lolos, direncakan menggantikan si  gadis berlesung pipi karena akan menikah dan diboyong suami ke kota lain. Dan kaki Timus malah masuk ke kamar audisi, bukan apotek. Dikiranya datang langsung tes. Tahu-tahu setiap peserta harus antre, belum termasuk jeda makan minum tim juri. Dan giliran Timus dua jam kemudian. Selesai audisi, ia cari-cari apotek. Pil anti mabuk dapat. Timus jingkrak-jingkrak seolah keberuntungan berpihak padanya. Tapi Kakek yang ia dapati di rumah nangis-nangis tak mau bicara. Saat ditanya kenapa, lelaki itu diam saja. Barulah Timus sadar bus pembawa rombongan pesta yang seharusnya Kakek duduk di salah satu bangkunya sudah berangkat. Kakek tak jadi ikut karena menunggu Timus yang tak kunjung muncul. Sejak dari itu, Timus janji pada dirinya supaya bisa menyetir sehingga kelak dapat mengantarkan Kakek ke pesta mana saja.

“Halo, Ma. Sudah di mana?” terdengar suara cemas calon mempelai wanita dalam ponsel Nam Lin.

“Hampir sampai.”

“Dari tadi hampir sampai.”

Jarum jam menunjuk angka tujuh. Timus menambah kecepatan bus. Lebih cepat. Makin cepat. Pikirannya sampai SPBU. Toilet. Toilet. Halo, toilet! Ia gedor-gedor pintu agar siapa pun di dalamnya segera keluar. Pada pagi seperti ini biasanya ia terbirit-birit masuk toliet. Dan sekarang, terserah demi apa pun, perasaan ingin berak yang hampir sampai dubur itu lebih baik dituntaskan. **

Riau, Juni 2022


Jeli Manalu senang menulis dan berkebun. Ia lahir di Padangsidimpuan pada 2 Oktober 1983, dan saat ini tinggal di Rengat Riau. Cerpen-cerpennya terbit di media lokal dan nasional. Buku kumcernya “Kisah Sedih Sepasang Sepatu” tahun 2018. Kucing Penunggu Susteran tahun 2022.