Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Mahfud MD
Foto bersama, Menkopolhukam Mahfud MD bersama sejumlah tokoh dalam acara peluncuran buku Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar. (Foto: Instagram @mohmahfudmd)

Hadiri Peluncuran Buku Imam Besar Masjid Istiqlal, Mahfud MD Puji Kepiawaian Sang Profesor dalam Menulis



Berita Baru, Jakarta – Menkopolhukam Mahfud MD hadiri peluncuran buku Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Nasaruddin Umar, di Hotel Grand Sahid, Jakarta pada Jumat (5/11) malam.

“Senang bisa bersama Sandiaga Uno, TGB Zainul Majdi, Salih Husin, Jaya Suprana dll menemani Prof. Nasaruddin Umar saat peluncuran buku Sang Imam Besar Masjid Istiqlal sekaligus melakukan doa bersama untuk bangsa,” tulis Mahfud dalam akun Instagram pribadinya, Sabtu (6/11).

Dalam kegiatan yang digelar secara terbatas, Nasaruddin Umar merilis 6 buku yang mengusung dimensi feminim yang berbeda dari tahun sebelumnya.

Mahfud MD memuji kemahiran menulis dan berpidato Nasaruddin Umar. Selain itu Mahfud menganggap ia merupakan ulama yang memiliki kepiawaian yang sukar ditemukan padanannya.

“Itu jarang ada di Indonesia. Ulama yang ngomong saja banyak, yang nulis saja ada. Tapi yang ngomong dan nulis dengan sama-sama produktif itu sulit ya,” kata Mahfud MD dalam acara.

“Banyak orang yang bisa ngomong, bisa nulis, tapi enggak seproduktif beliau,” sambungnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menilai, Nasaruddin memiliki kemampuan membawakan tulisan dengan tema berat, namun dapat dicerna dengan ringan oleh pembaca.

“Ada orang kalau baca itu kita harus duduk dan serius, tulisan Pak Nasaruddin itu masuk otak ke darah, napas kita itu bisa sambil tiduran, bisa sambil makan-makan ringan, itu enak. Dan isinya dalam,” ungkap Mahfud.

Tak kalah mahirnya dengan menulis, Mahfud menilai ulama kelahiran Sulawesi Selatan 62 tahun silam itu juga pandai mengolah kata dalam pidatonya. Menurut dia, Nasaruddin Umar piawai menyampaikan pidato dengan isu serius tapi disajikan dengan renyah.

“Enak, mengalir, lancar gitu, dan tidak pernah membosankan. Itulah Pak Nasaruddin Umar,” tuturnya.

Nasaruddin bagi Mahfud merupakan sosok sahabat yang tak ada duanya. Keduanya memiliki sejarah hidup yang serupa.

“Kami bersekolah ini hidup dari beasiswa. Kami sama-sama mendapat beasiswa Supersemar dulu. Saya S1, S2 dan S3-nya dari Supersemar. Pak Nasaruddin juga lulus S3 sama-sama agak tua gitu jadi pengurus alumni Yayasan Supersemar,” terangnya.

Nasaruddin Umar meluncurkan enam buku bertemakan Islam sufistik. Berbeda dari peluncuran buku pada tahun sebelumnya, kali ini buku gagasan Nasaruddin Umar menitikberatkan pada tema feminim.

“Tema buka saya tahun ini adalah lebih feminim. Kalau tahun lalu buku-buku saya itu adalah buku-buku yang bersifat kombinasi, jadi ada sifat politiknya, antropologinya, sosiologinya. Tapi kalau tahun ini kami sengaja me-launching buku yang sifatnya sufistik ya,” kata Nasaruddin Umar.

Nasaruddin bukan tanpa alasan mengusung tema ini pada buku-buku yang dia terbitkan tahun ini. Menurutnya tahun-tahun menjelang pemilu bangsa Indonesia perlu didinginkan dengan bacaan yang jauh dari sifat maskulin.

Kami melihat bahwa bangsa ini, terutama menjelang pemilu yang akan datang kita perlu penyejukan,” katanya.

Nasaruddin memandang hal itu dilakukan dengan melempar bacaan yang sarat akan nilai sufistik. Hadirnya buku-buku itu, kata dia merupakan penyeimbang maraknya buku-buku yang menguras urat syarat.

“Karena sudah terlalu banyak buku berbicara tentang hal-hal yang sifatnya struggle ya, yang maskulin,” ucap dia.

Diharapkan dengan bahan bacaan seperti itu akan terbentuk keseimbangan di masyarakat. Menurut Nasaruddin, bangsa yang utuh adalah bangsa yang memberikan tempat hati dan kepalanya untuk saling berkomunikasi.

“Jangan semuanya tumpah berbicara dalam persoalan maskulin, dalam persoalan politik. Tapi juga kita harus menengok diri kita sendiri, siapa diri kita sebetulnya, kita mau ke mana?” katanya.

Buku semacam itu, lanjut Nasaruddin juga untuk menyadarkan bangsa bahwa hidup itu memiliki batas. Bahwa ada kehidupan setelah mati.

“Dengan kesadaran sufistik seperti ini, maka kita akan berpolitiknya santun, berekonominya juga luhur, bisnisnya pun beretika,” tandasnya.

Santun dan etika, kata dia merupakan ciri khas bangsa ini. Dan itu semua termuat dalam Pancasila.

“Kita harap ke depan konstruksi-konstruksi seperti ini tidak boleh hilang dalam arena intelektulitas kita,” tandasnya.

Sebetulnya Nasaruddin merencanakan ada 12 buku yang akan dirilis hari ini. Namun lantaran enam lainnya tak terkejar karena masih dalam proses penyuntingan, alhasil baru enam buku yang berhasil diluncurkan.