GUSDURian Sikapi Peraturan Menteri Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
Yogyakarta, Berita Baru – Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus semakin marak. Kasus itu menimbulkan reaksi dari kemendikbud dan juga Jaringan GUSDURian. GUSDURian pun turut menyikapi maraknya kasus kekerasan seksual di kampus dan juga peraturan menteri sebagaimana yang tertulis di kanal gusdurian.net.
Pada tanggal 31 Agustus 2021 Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menandatangani Peraturan Menteri Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Permen tersebut dikeluarkan sebagai komitmen Menteri Pendidikan untuk memberantas salah satu dari tiga dosa besar di dunia pendidikan Indonesia, yaitu pelecehan seksual.
Kasus kekerasan seksual di kampus ibarat rahasia umum karena kerap terjadi di kampus-kampus Indonesia. Liputan kolaborasi #NamaBaikKampus yang diinisiasi oleh Tirto, The Jakarta Post, dan Vice Indonesia mendapati adanya 174 laporan sepanjang 2019 dari 79 kampus di Indonesia. Liputan tersebut juga menyorot berbagai kasus kekerasan seksual yang tidak bisa diproses karena belum ada payung hukum yang melandasinya. Bukannya mendapat penanganan yang berpihak pada korban, para pelapor kerap mendapat tekanan dari kampus dan kehidupan sosialnya. Sebagian besar kasus diselesaikan dengan cara damai untuk melindungi nama baik kampus. Ironisnya, pihak kampus justru menjadi aktor kunci dalam upaya melindungi pelaku kekerasan seksual.
Sejak tahun 2016 koalisi masyarakat sipil sudah mengajukan adanya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU tersebut mengajukan celah hukum Indonesia terkait kasus kekerasan seksual, mulai definisi, pencegahan, perlindungan korban, hingga penanganan kasus kekerasan seksual. Akan tetapi RUU tersebut belum disahkan karena mendapat pro dan kontra di kalangan masyarakat. Hal ini membuat banyak kasus kekerasan seksual tidak bisa ditangani dengan semestinya.
Sementara itu, meski di masa pandemi, kasus kekerasan seksual di kampus masih terus terjadi. Kasus mahasiswi yang dilecehkan oleh dosen pembimbingnya di sebuah universitas di Riau baru-baru ini membuat urgensi adanya payung hukum yang melindungi korban. Pasalnya, korban mendapat tekanan dari terduga pelaku dan pihak kampus. Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual menjadi oase di tengah keringnya keadilan bagi para korban kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi.
Oleh karenanya, Jaringan GUSDURian menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, mengapresiasi dan mendukung langkah pemerintah dalam menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Langkah tersebut merupakan wujud upaya hadirnya negara dalam menjamin keadilan bagi para korban kekerasan seksual di perguruan tinggi yang selama ini diabaikan. Asas keadilan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual merupakan perwujudan dari nilai-nilai agama, Pancasila, dan konstitusi UUD 1945.
Kedua, tetap mengawal disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diusulkan koalisi masyarakat sipil sejak 2016. Permendikbud No. 30 tahun 2021 mengatur kasus yang terjadi di lingkup perguruan tinggi. Sementara Jaringan GUSDURian mencatat bahwa kasus-kasus kekerasan seksual juga banyak terjadi di berbagai ruang lingkup kehidupan masyarakat.
Ketiga, mengajak pimpinan perguruan tinggi di Indonesia untuk menerapkan peraturan tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari sosialisasi pengenalan kehidupan kampus yang bebas dari kekerasan seksual. Nama baik kampus diwujudkan dengan mengusut tuntas kasus kekerasan seksual, bukan justru menutupinya sebagaimana banyak terjadi di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi juga bisa mengusut dugaan kasus kekerasan seksual di kampusnya yang masih menggantung.
Keempat, menyerukan kepada kampus-kampus negeri untuk menjadi teladan bagi kampus-kampus lain dengan menerbitkan mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Saat ini hanya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang sudah memiliki peraturan rektor terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.
Kelima, mengajak seluruh penggerak Jaringan GUSDURian untuk terus mendukung segala upaya menghapus kekerasan seksual. Selama ini banyak terjadi misinformasi dan disinformasi yang mengaburkan substansi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. (Mz/Ah)