Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Gus Hilmy: Demokrasi Membutuhkan Partisipasi Semua Warga Negara

Gus Hilmy: Demokrasi Membutuhkan Partisipasi Semua Warga Negara



Berita Baru, Yogyakarta – Anggota MPR RI, Hilmy Muhammad mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia memiliki perbedaan dengan demokrasi yang berlaku umum. Tidak hanya mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara, melainkan juga berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Sebab itulah, demokrasi di Indonesia disebut sebagai demokrasi Pancasila.

Hal itu ia sampaikan dalam acara kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPRI di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Yogyakarta, dengan mengusung tema ‘Demokrasi Pancasila sebagai Titik Temu Kebhinekaan Indonesia’, bertempat di Jl. Ki Ageng Giring, Bansari, Kepek, Kec. Wonosari, Gunung Kidul, pada Jum’at (16/9) siang.

Menurut Gus Hilmy, sapaan akrabnya, berdemokrasi di Indonesia harus memiliki pengakuan dan bertanggung jawab kepada Tuhan yang Maha Esa, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menjamin dan menciptakan persatuan serta kesatuan Indonesia, menjadikan musyawarah sebagai jalan utama penyelesaian berbagai perbedaan dan konflik, serta mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Hari Demokrasi menjadi kesempatan bagi kita untuk meninjau kondisi demokrasi saat ini. Hal ini sebagai upaya kita agar demokrasi tumbuh semakin kuat, toleransi politik, penguatan suara warga, menjadi agenda pembangunan berkelanjutan, akuntabilitas, dialog, inklusivitas, dan lain sebagainya. Sebab, demokrasi membutuhkan partisipasi semua warga negara,” urai Gus Hilmy pada acara yang diselenggarakan dalam rangka memperingati ‘Hari Demokrasi Internasional’ tersebut. 

Selain itu, pria yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila memberikan kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk selalu membuka diri dan membangun persatuan serta kolaborasi. Di antaranya karena Demokrasi Pancasila telah menjadi titik temu atas kebhinekaan Indonesia.

“Seluruh bangsa Indonesia telah menyadari bahwa Pancasila adalah jalan tengah dan jawaban atas keberagaman multidimensional yang ada di Indonesia. Diharapkan segala unsur dalam negara ini mau membuka diri dan selalu membangun persatuan serta kolaborasi dalam berkehidupan bermasyarakat,” papar pria yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari D.I. Yogyakarta tersebut..

Sementara perguruan tinggi sebagai sasaran sosialisasi Empat Pilar, menurut Gus Hilmy, memiliki peran strategis untuk mewujudkan demokrasi dalam masyarakat. Sebab perguruan tinggi menjadi medan untuk mencetak kader-kader unggul sehingga kehidupan berdemokrasi di perguruan tinggi juga harus ditumbuhkan.

“Inilah tempat di mana anak-anak belajar bertanya, mengkritisi, dan lain sebagainya. Pihak rektorat juga harapannya tidak hanya alergi ketika didemo dan dikritik. Justru di tempat inilah mahasiswa dilatih kekritisannya. Demikian juga dengan mahasiswa, kalau menyampaikan kritik dan pendapat sebisa yang kita mampu, dengan data yang akurat, dan cara yang baik. Dengan cara itu, nilai demokrasi dapat ditumbuhkan melalui perguruan tinggi,” jelas Gus Hilmy.

Hadir dalam kesempatan tersebut adalah Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY, Ahmad Zuhdi Mudlor; Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PW LPTNU) DIY, Senawi; dan Plt. Rektor STAI Yogyakarta Hudan Mudaris dan Kegiatan tersebut dimoderatori oleh Ihyak.

Hudan Mudaris menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila harus terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, utamanya mahasiswa. Hal tersebut merupakan ijtihad yang luar biasa dari pendiri bangsa. 

“Pancasila harapannya tidak menjadi mantra yang diucapkan setiap hari senin atau tanggal 17 Agustus, tetapi juga menjadi ideologi kehidupan sehingga dapat menjadi lem perekat antar anak bangsa, yang pada intinya adalah gotong royong. Ini merupakan ijtihad yang luar bisa. Untuk itu, kita harus bersyukur tinggal di Indonesia, sehingga tidak berlebihan jika kita memiliki jargon Hubbul Wathan Minal Iman,” jelasnya.

Sementara bagi Kyai Zuhdi, Pancasila adalah common platform, yang tidak serta merta mengubah keyakinan masing-masing warga negara. Dia sekaligus menegaskan bahwa Pancasila bukan agama dan tidak boleh diagamakan.

Menurutnya, sebagai dasar negara, Pancasila tidak bertentangan dengan agama dan untuk memperkuat pelaksanaan agama. Hal ini, lanjut Kyai Zuhdi, karena Pancasila memiliki kerangka teoritis yang matang.

“Dari tinjauan diskursus teoritis, Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai yang  dimiliki dan akan dipertahankan oleh Bangsa Indonesia. Oleh karena itu sila-sila dalam Pancasila adalah fakta sekaligus merupakan norma. Di sisi lain, Pancasila merupakan hasil interaksi dari berbagai kelompok bangsa Indonesia yang berbeda latar belakang keyakinan, budaya, sosial, dsb untuk membentuk kerangka bersama (common platform) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (teori dekonfessionalisasi),” ungkap Kyai Zuhdi.

Di sisi lain, Senawi menegaskan, sebagai mahasiswa perguruan tinggi NU (PTNU), setiap mahasiswa harus menginternalisasi nilai-nilai Pancasila, baik di dalam kampus maupun di masyarakat bersama keluarga.

“Oleh sebab itu, setiap alumni PTNU, kita tuntut untuk berkomitmen pada NKRI, memiliki semangat Bhinneka Tunggal Ika, bersikap dengan landasan UUD NRI 1945, dan berjiwa Pancasila. Dengan keempatnya, kita yakin alumni PTNU akan menjadi SDM yang unggul dan dapat menciptakan pemimpin yang ideal demi Indonesia maju,” pungkasnya.