Greenpeace Tegas Tolak Kebijakan Ekspor Pasir Laut
Berita Baru, Jakarta – Pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali membuka keran ekspor pasir laut melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 yang diteken oleh Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan. Kebijakan ini dinilai menambah daftar panjang keputusan pemerintah yang dinilai tidak pro-lingkungan dan lebih mengutamakan kepentingan pengusaha.
Greenpeace Indonesia dengan tegas menolak kebijakan ini karena dianggap akan merusak ekosistem laut dan pesisir serta mengancam kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir.
“Sejak tahun lalu ketika Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023, kritik sudah banyak disampaikan oleh masyarakat, nelayan, akademisi, hingga peneliti. Kami sudah prediksi rezim Jokowi tidak peduli dengan kritik dan tidak berpihak pada lingkungan,” tegas Ocean Campaign Leader GreenPeace Indonesia, Afdillah Chudiel dalam siaran persnya, Senin (16/9/2024).
Kebijakan ini juga memicu aksi protes dari koalisi Save Spermonde, yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Walhi Sulawesi Selatan, Green Youth Movement, dan Kodingareng Women Movement. Mereka menggelar aksi dengan membawa simbol Monster Oligarki raksasa ke kantor Gubernur Sulawesi Selatan, mendesak agar pemerintah membatalkan reklamasi di Makassar New Port yang telah merusak ekosistem laut di Kepulauan Spermonde, khususnya Pulau Kodingareng.
Afdillah menyoroti bahwa Permendag 20/2024 memperlihatkan wujud asli dari Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang diklaim pemerintah sebagai upaya memulihkan ekosistem laut terdampak sedimentasi. Namun, ia mencurigai peraturan ini adalah bentuk greenwashing, atau pembungkusan kebijakan merusak dengan label pemulihan lingkungan.
“Dari awal kami sudah curiga bahwasanya peraturan ini adalah upaya tipu-tipu pemerintah untuk menyelubungi upaya mereka mengekspor pasir ke luar negeri,” tegas Afdillah.
Lebih lanjut, Afdillah menjelaskan dampak negatif dari penambangan pasir laut yang dapat merusak habitat laut, memperburuk abrasi pantai, dan mempengaruhi pola arus laut. Pengerukan pasir, seperti yang terjadi di Kepulauan Spermonde pada 2020 oleh kapal dredging asal Belanda, Queen of the Netherlands, merusak wilayah tangkapan nelayan dan mengancam keberlanjutan ekonomi masyarakat pesisir.
“Penambangan pasir dapat merusak wilayah tangkap nelayan, menurunkan produktivitas, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kelangkaan pangan,” kata Afdillah.
Afdillah menegaskan bahwa PP 26/2023 bukanlah solusi untuk pemulihan lingkungan, melainkan langkah mundur yang hanya menguntungkan segelintir elite. Ia meminta pemerintah segera mencabut peraturan tersebut dan lebih berfokus pada pelindungan lautan.