Gelar Diskusi Gender dan Pesantren, Yayasan Oase Cakrawala Nusantara Resmi Dilaunching
Berita Baru, Malang – Pembahasan gender dan pesantren menjadi perhatian banyak orang, terlebih setelah maraknya berbagai kasus kekerasan seksual atau perundungan di berbagai pesantren. Isu gender menjadi salah satu perhatian yayasan yang baru saja berdiri, Yayasan Oase Cakrawala Nusantara. Sebuah lembaga yang berdiri dan berdomisili di Kota Malang.
Pada soft launchingnya, Yayasan Oase Cakrawala Nusantara menyelenggarakan diskusi dengan tema gender dan pesantren, Sabtu, 8 April 2023. Tema itu sengaja dipilih sebagai bentuk perhatian lembaga ini. Selain itu sebagai bagian dari pemaparan hasil riset pendidikan inklusif di pesantren berbasis gender yang dilakukan tim Oase Institute tahun lalu, 2022 – yang kemudian bernaung di bawah Yayasan Oase Cakrawala Nusantara.
Acara diselenggarakan melalui zoom tepat pukul 15.00 sembari menunggu berbuka puasa bagi umat islam. Acara dipandu oleh Laksamana Pramana Agung selaku MC dan Nefa Wahyuning Anggraini selaku moderator. Keduanya merupakan pengurus Yayasan Oase Cakrawala Nusantara.
Sebelum gelaran diskusi, soft launching dipengantari oleh Dr. Mohamad Anas, M. Phil, selaku pembina yayasan. Anas mengatakan bahwa cikal bakal yayasan ini sudah sejak lama, dengan berbagai aktivitas literasi, diskusi, penelitian, dan pengabdian. Ke depannya Anas berharap yayasan ini bisa menyajikan kajian segar seperti diskursus poskolonial yang pernah dikaji sebelumnya.
“Harapannya, ke depan yayasan ini bisa mengkaji poskolonial dan bisa dikaitkan dengan gender, agama, sosial, sastra, dan lainnya. Keberlanjutan dan kebermanfaatan yayasan ini semoga bisa disambut baik oleh semua pihak,” tambah pria yang juga merupakan dosen Universitas Brawijaya.
Ketua Yayasan, Destriana Saraswati mengatakan bahwa tujuan berdirinya yayasan ini salah satunya ialah sebagai ruang diskursus atau kajian dalam persepktif agama, gender, sosial, politik, dan lainnya.
“Berdirinya yayasan ini juga diharapkan memberikan kontribusi nyata dan mampu menghadirkan ruang pendidikan alternatif yang fokus pada pemberdayaan, kajian, dan inklusivitas – dengan tujuan utama mencapai kesejahteraan, ” tambah Destri saat membuka soft launching.
Setelah sesi pembukaan, acara dilanjutkan dengan diskusi dengan tema gender dan pesantren. Pada sesi materi, dibuka oleh Gus Achmad Fathurrahman Rustandi mengenai kesadaran gender dan perspektif perempuan dalam Islam. Pendidikan gender pada dasarnya harus dimiliki oleh semua, baik laki-laki maupun perempuan.
“Agar kita bisa menjalankan perspektif gender dalam islam maka harus memahami nash alquran dan hadist serta tafsirnya. Di kitab suci dan bahasa arab juga ada distingsi yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Q.S An-Nisa ayat 4, Al-Ahzab Ayat 35, Al-An’am Ayat 164, Al Baqoroh Ayat 228. Ayat-ayat tersebut diyakini oleh mufasir kontemporer sebagai dalil dari kesetaraan gender,” ujar Gus Achmad, pendiri Afkaruna.id.
“Perempuan dan ibu merupakan kunci utama dalam kesetaraan gender, sehingga tidak heran jika perempuan dijadikan role model dalam perkembangan kehidupan manusia. Mulai dari memberikan pendidikan dan pemahaman yang lebih baik tentang agama Islam, mempromosikan interpretasi agama yang lebih inklusif hingga memberikan contoh dan peran model yang baik. Selain itu, penyebab tingginya kekerasan di pesantren ialah karena adanya relasi kuasa yang timpang (manipulasi kekuasaan yang dimiliki), kemudian juga pemahaman agama yang bersumber dari tafsir agama yang salah dan dipenuhi oleh nilai-nilai patriarki,” tambah pria yang merupakan pengasuh Pesantren Suciati Saliman.
Kemudian dilanjutkan pemateri kedua yakni Ning Dena Baladina dari Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang. Ia menjelaskan terkait bagaimana perempuan menjadi mandiri dan berdikari. Diskusi mengenai perempuan dalam buku perempuan karya Quraish Shihab, menyebutkan bahwa agama sering dijadikan dalih dalam membatasi perempuan dan kesetaraan gender. Seperti pemahaman bahwa perempuan adalah tulang rusuk laki-laki. Padahal tafsir tersebut hanya berlaku pada nabi Adam dan ibu Hawa.
“Untuk mewujudkan harkat dan kemandirian perempuan, perempuan harus merasa setara dengan laki-laki dan membuktikan kemampuannya dalam dunia nyata. Upaya pesantren dalam membangun pendidikan inklusif berbasis kesetaraan gender, yakni dengan membuat forum diskusi dan seminar tentang hardskill dan softskill untuk laki-laki dan perempuan, kemudian women support women dalam membuka peluang perempuan untuk berkembang,” tegas Ning Dena.
Umumnya upaya melawan kekerasan seksual di pesantren dilakukan dengan cara: Pengawasan yang melibatkan ustad dan ustadzah atau pengurus; Penguatan internal melalui pendidikan akhlaq; Adanya peer conseling dan lembaga yang menangani kekerasan seksual di pesantren. Kemudian dilanjutkan dengan sesi pertanyaan yang dibuka untuk para audience.
Dialog berjalan seru dan interaktif, 50 lebih peserta mengikuti diskusi hingga acara usai. Acara ini juga didukung oleh Afkaruna.id dan tentunya hadirin yang berpartisipasi pada soft launching. Acara ditutup dengan doa bersama. (Im/Far)