Food Estate dan Hilirisasi Energi Dinilai Gagal Jawab Krisis Lingkungan dan Pangan
Berita Baru, Jakarta – Solidaritas Perempuan menyoroti kegagalan pemerintah baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam menjawab masalah struktural masyarakat, terutama perempuan di tingkat akar rumput, setelah keduanya dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada 20 Oktober 2024. Kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate dan hilirisasi energi yang mereka gaungkan dinilai hanya memperburuk ketimpangan dan merusak lingkungan.
Food Estate, yang diwariskan sejak era Soeharto dan diteruskan oleh pemerintahan-pemerintahan berikutnya, termasuk Joko Widodo, dinilai gagal sebagai solusi ketahanan pangan nasional. Solidaritas Perempuan menyebutkan, pembangunan melalui perampasan ruang hidup, kerusakan lingkungan, serta pendekatan yang militeristik telah menjadi pola berulang dalam pelaksanaan proyek ambisius ini. Data menunjukkan, perampasan lahan untuk PSN mencapai 500 ribu hektar di 115 lokasi dan 1,86 juta hektar di 11 provinsi untuk proyek food estate.
Menurut Solidaritas Perempuan, salah satu contoh dampak dari proyek ini terjadi di Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, di mana perempuan adat harus kehilangan lahan dan menjadi buruh di tanah mereka sendiri.
“Bibit padi lokal yang selama ini dikelola oleh perempuan telah punah, merusak pengetahuan dan kearifan lokal yang mereka warisi secara turun temurun,” ungkap Solidaritas Perempuan dalam rilisnya pada Selasa (22/10/2024).
Dalam pidatonya, Prabowo juga menegaskan bahwa pemerintahannya akan memperkuat swasembada energi sebagai langkah strategis di tengah ketegangan geopolitik global. “Saudara-saudara sekalian, kita juga harus swasembada energi. Dalam keadaan ketegangan, kemungkinan terjadi perang, kita harus siap dengan kemungkinan yang paling buruk,” tegas Prabowo.
Namun, Solidaritas Perempuan menilai bahwa kebijakan energi pemerintah baru ini lebih berfokus pada geopolitik ketahanan energi, bukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Hal ini terlihat dari dorongan Prabowo untuk memperkuat Clean Coal Technology (CCT) serta pengembangan energi panas bumi (geothermal) dan PLTA, yang justru dinilai memperpanjang masa penggunaan energi kotor seperti batubara.
Proyek geothermal di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur, dan PLTA di Poso, Sulawesi Tengah, telah memperburuk situasi perempuan di wilayah tersebut. Mereka sering dihadapkan dengan aparat bersenjata saat melawan penggusuran dan perampasan lahan mereka. “Feminisasi pemiskinan melalui penghancuran ruang hidup terus terjadi, terutama di kalangan perempuan yang terpaksa menjadi buruh migran,” tambah Solidaritas Perempuan.
Solidaritas Perempuan mendesak pemerintahan Prabowo-Gibran untuk segera menghentikan proyek food estate yang dianggap hanya mengulang sejarah kegagalan serta memperluas konflik agraria. Mereka juga meminta agar seluruh kebijakan energi yang merusak lingkungan dan mengakibatkan feminisasi pemiskinan segera dicabut. “Pemerintah harus menempatkan perempuan dan kelompok rentan di pusat pembangunan dan aksi iklim, dengan pendekatan berbasis hak yang adil gender dan berkelanjutan,” tutup Solidaritas Perempuan.