FoINI Desak Adanya Majelis Etik Permanen Komisi Informasi
Berita Baru, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) yang tergabung dalam Freedom Information of Network Indonesia (FoINI) mendesak adanya Majelis Etik Permanen bagi Komisi Informasi.
FoINI, KMS yang menginisiasi RUU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), menilai Majelis Etik Permanen merupakan kebutuhan mendesak bagi integritas Komisi Informasi.
“Selama dua belas tahun pemberlakuan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, keberadaan Komisi Informasi yang diamanahkan membangun iklim keterbukaan belum berjalan dengan maksimal. Ketiadaan peta jalan Komisi Informasi dalam konteks arah dan kebijakan pembangunan nasional menyebabkan lembaga ini seolah jalan di tempat,” tulis FoINI dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/11).
Dijelaskan, Komisi Informasi Pusat periode pertama (2009-2013) telah membangun fondasi kelembagaan untuk mendukung fungsi dasar Komisi Informasi.
Dengan harapan periode berikutnya melanjutkan penguatan fondasi kelembagaan disertai dengan penguatan peran strategis lembaga pada isu-isu publik.
“Namun, penguatan kelembagaan yang diharapkan belum berjalan dengan baik. Salah satu yang mendasar adalah pembentukan Majelis Etik,” ujarnya.
FoINI menyebut, Komisi Informasi Pusat pada periode pertama telah membentuk Keputusan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia No. 01/KEP/KIP/VIII/2009.
Beleid ini kemudian diperbaiki oleh Komisi Informasi Pusat pada periode kedua (2013-2016) melalui pembentukan Peraturan Komisi Informasi No. 3 Tahun 2016 tentang Kode Etik Komisi Informasi.
“Pada praktiknya, karena sifatnya ad hoc dan berdasarkan pada keputusan pleno yang sangat ditentukan oleh sikap pimpinan, keberadaan majelis etik, khususnya untuk Komisi Informasi Pusat, nyaris tak terdengar pembentukannya untuk merespon laporan publik,” terangnya.
Padahal FoINI melihat ada berbagai isu berkaitan dengan pelanggaran prinsip pedoman perilaku yang dilakukan oleh oknum anggota Komisi Informasi, baik di pusat maupun daerah.
Antara lain, dugaan rangkap jabatan (KI Aceh, KI Pusat); dugaan perselingkuhan; dugaan meninggalkan persidangan tanpa alasan yang dapat dibenarkan; dugaan rekayasa kasus; dugaan pengabaian konflik kepentingan dalam persidangan (KI Jabar); dan dugaan pengabaian tugas yang menjadi tanggung jawab divisi.
Kondisi di atas, menurut FoINi berpotensi menurunkan trust publik dan marwah lembaga. Bahkan dapat disaksikan, pendaftaran Komisi Informasi akhirnya diserbu oleh para pencari kerja yang rekam jejaknya tidak memiliki relevansi dengan isu keterbukaan.
“Sebagian mereka dengan mudah meninggalkan lembaga ini untuk mendaftar ke lembaga negara lain, padahal masa jabatannya belum selesai, atau bahkan baru dilantik,” tuturnya.
Disisi lain, kata FoiNI, Komisi Informasi mengakui bahwa pemerintah (pusat dan daerah) belum memberikan dukungan anggaran yang memadai bagi Komisi Informasi.
Namun, dengan anggaran yang terbatas itu pun, Komisi Informasi terlihat tidak dapat menentukan program strategis yang dapat memicu percepatan keterbukaan.
Belum tuntas dengan perbaikan desain Monev Keterbukaan Informasi Badan Publik, Komisi Informasi kembali mengembangkan Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP).
“Sayangnya, hasil dari dua instrumen ini pun belum dimanfaatkan dengan baik oleh Komisi Informasi untuk mempercepat keterbukaan informasi,” katanya.
Dalam rilisnya, FoINI mengurai beberapa bukti tingkat ketaatan Badan Publik terhadap UU KIP yang masih rendah. Hal itu berdasar Hasil Monitoring dan Evaluasi dari Komisi Informasi Pusat RI yang memperlihatkan bahwa jumlah Badan Publik yang informatif masih sangat sedikit.
Yaitu, pada tahun 2021 lalu, hanya 24,63% Badan Publik yang informatif. Pada tahun sebelumnya, 2020 sebesar 17,24%; 2019 sebesar 9,58%; dan di tahun 2018 sebesar 3,26%. Melihat data tersebut, menurut FoINI Komisi Informasi abai pada peran strategis yang harusnya dapat dimainkan fungsi dan kewenangannya.
Baginya, Komisi Informasi seharusnya dapat menjadi lembaga sentral yang mendorong perbaikan tata kelola data yang bersifat strategis, baik di level daerah maupun nasional, sebagai basis pengambilan kebijakan-kebijakan pemerintah, baik yang bersifat umum maupun tematik (targetted).
“Ketiadaan visi ini menyebabkan Komisi Informasi absen pada isu-isu strategis publik yang memiliki relevansi kuat dengan tata kelola data,” tegasnya.
“Padahal, sejumlah kasus menunjukkan bahwa rusaknya tata kelola data berdampak pada terhambatnya pencapaian tujuan dari kebijakan pemerintah,” sambung FoINI.
Sebagai contoh, Badan Pemeriksa Keuangan mengungkap bahwa tiga jenis bantuan sosial tidak tepat sasaran, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Sembako/Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), serta Bantuan Sosial Tunai (BST), sebagaimana tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2021. Hal itu membuat kerugian negara hingga Rp 6,93 triliun.
Contoh lainnya, sekitar 300 sertifikat redistribusi tanah yang telah diterima masyarakat sekitar Jasinga dan Pamijahan, Bogor, disita Satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI.
“Lahan tersebut merupakan bagian dari 500 bidang sertifikat redistribusi seluas 42,72 hektar yang dibagikan Presiden Joko Widodo pada September tahun lalu,” jelasnya.
Lebih lanjut, FoINI menjelaskan, sebenarnya dalam RPJMN 2020-2024, telah ditetapkan 4 (empat) pengarusutamaan (mainstreaming) sebagai bentuk pembangunan inovatif dan adaptif sehingga dapat menjadi katalis pembangunan untuk menuju masyarakat sejahtera dan berkeadilan.
Salah satunya adalah pengarusutamaan transformasi digital, yang merupakan upaya untuk mengoptimalkan peranan teknologi digital dalam meningkatkan daya saing bangsa dan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
“Strategi pengarusutamaan transformasi digital terdiri dari aspek pemantapan ekosistem (supply), pemanfaatan (demand), dan pengelolaan big data. Jika Komisi Informasi dapat membaca peluang dengan baik, maka sebenarnya inilah ruang yang seharusnya dikelola oleh lembaga ini,” ujarnya.
Melihat problem tersebut, FoINI lantas mendorong agar Komisi Informasi Pusat periode 2022-2026 segera membenahi warisan persoalan tersebut, baik terkait penguatan kelembagaan maupun visi ke depan.
Bagi FoINI, upaya perbaikan kelembagaan Komisi Informasi ini memerlukan soliditas internal, baik antar komisioner maupun antara komisioner dan sekretariat.
“Faktor yang menentukan, antara lain kejelasan susunan organisasi dan tata kelola (SOTK), keberadaan majelis etik yang bersifat permanen, serta kedewasaan komisioner dalam menyelesaikan persoalan internal,” terangnya.
Tanpa kedewasaan, lanjut FoINI, majelis etik menjadi tempat saling melaporkan dengan memanfaatkan orang lain. Meskipun mekanisme ini memberikan kepastian hukum, namun berpotensi merusak relasi antar anggota, jika tidak disikapi dengan dewasa.
Menurutnya, model kelembagaan seperti DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) atau Dewas (Dewan Pengawas) di Komisi Pemberantasan Korupsi patut dipertimbangkan.
“Komposisinya terdiri dari unsur akademisi dan praktisi yang memiliki integritas, kapasitas, dan komitmen. Majelis etik diharapkan dapat menjaga perilaku anggota dan kinerja anggota sehingga berdampak pada terjaganya marwah lembaga,” pungkas FoINI.
Sebagai tambahan Informasi, FoINI merupakan Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) yang terdiri dari, Indonesian Parliamentary Center, Perkumpulan Inisiatif, KOPEL Indonesia, YAPPIKA-ActionAid. PATTIRO Semarang, PUSPAHAM SULTRA dan IDFoS Indonesia.
KMS FoINI merupakan koalisi untuk kebebasan memperoleh informasi yang juga turut menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).