Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Fitra Jabarkan Janji Palsu APBN 2021
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbah Hasan dalam konferensi video, Kamis (8/10).

Fitra Jabarkan Janji Palsu APBN 2021



Berita Baru, Jakarta – Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah hasan menjabarkan janji palsu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021.

Menurut Misbah kondisi covid-19 di Indonesia sangat mengkhawatirkan, walaupun pemerintah menjanjikan curva covid-19 akan melandai di bulan Oktober. Namun hingga sekarang pandemi covid-19 masih ada dan malah memprihatinkan. 

Meskipun demikian, Misbah menyebut, dengan kondisi seperti itu ternyata pemerintah masih sangat optimis untuk menetapkan pertumbuhan ekonomi 5 persen di 2021. Menurut kami proyeksi ini sangat optimis di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama di kuartal 2 terkontraksi hingga 5,32 persen dan ke depan itu sekitar diprediksi sekitar minus 3 persen, kata Misbah. 

“Kalau di rpjmn kalau kita kaitkan di rpjmn ini jauh dari proyeksi yang menetapkan 6 sampai 7 persen. Nah ini artinya bahwa ada kesan pencitraan bagaimana Indonesia menangani covid-19 dan kemudian perekonomian bisa tumbuh hingga 5 persen. Ini janji palsu pertama menurut kami,” ujar Misbah pada konferensi video “Janji Palsu APBN 2020?”, Kamis, (8/10).

Janji palsu yang kedua menurut Misbah adalah bahwa optimisme pendapatan dan belanja masih sekadar retorika. Defisit anggaran diproyeksikan sekitar Rp 971 triliun dan dikoreksi ketika penetapan menjadi Rp 1006,4 triliun atau 5,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). 

Misbah mengatakan, hal tersebut tidak lepas dari proyeksi pendapatan di 2021 yang dipatok Rp 1743,6 triliun dan Belanja Negara Rp 2750,0 triliun.

Janji palsu ketiga yaitu realisasi penerimaan perpajakan selalu di bawah target. Jadi, kata Misbah, kita menganalisa dari tahun 2017 hingga 2021 penerimaan perpajakan juga belum pernah mencapai target. 

“Ini menurut saya bisa dikatakan memberi janji palsu juga terkait dengan penerimaan pajak. Karena faktanya per 31 Agustus per porsi penerimaan pajak baru itu baru 46,9 persen saat ini. Itu artinya bahwa rata2 penerimaan pajak dari januari hingga agustus itu 6,7 persen,” ucap Misbah. 

Yang keempat terkait dengan insentif usaha. Di tahun 2020 pemerintah untuk skema Penanggulangan Ekonomi Nasional (PEN) ini itu dianggarkan sekitar 120,61 triliun. Di 2021 insentifnya berkurang cukup drastis hingga 100 triliun jadi dianggarkan sekitar 20,40 triliun.

Menurut Misbah secara literatur akademik memang pemberian insentif pajak tidak selalu berdampak positif terhadap peningkatan PDB atau penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan atau penciptaan dunia usaha baru. Apalagi saat kondisi covid-19 sekarang ini..

Kelima terkait dengan kontribusi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terhadap pendapatan negara. Kontribusi BUMN terendah dibanding dengan kontribusi penerimaan pendapatan negara dari kekayaan negara yang dipisahkan. 

“Jadi dalam 10 tahun terakhir justru BUMN seakan menjadi beban apalagi lagi ketika kondisi covid-19 saat ini. Ini jadi kontribusinya hanya 26,1 triliun, jauh menurun dibanding misalnya di laporan 2019 ini ya. Itu bisa mencapai 80,7 atau sekitar 79,2 persen sekarang kontribusinya jauh minus 59,8 persen,” ucap Misbah.

Selanjutnya yang keenam, di sektor kesehatan yang menurut Misbah dibandingkan dengan fungsi ekonomi, fungsi kesehatan di masa pandemi masih jauh tertinggal. Artinya memang prioritas utama pemerintah cenderung ke ekonomi. 

“Perbandingannya 4 banding 1 secara nominal. Kalau fungsi ekonomi itu sekitar 377,7 triliun kalau untuk kesehatan itu 77,5 triliun. Ini menjadi catatan kita janji palsu keenam,” kata Misbah. 

Selain itu Fitra juga menyoroti anggaran riset kesehatan masih sangat rendah. Menurut analisa Fitra, di dalam RAPBN 2021 anggaran kesehatan Rp 169.708,5 miliar atau sekitar Rp 169 triliun atau 6,2 persen terhadap belanja negara. Jadi ini masih sangat kecil hanya Rp 169 miliar. 

Untuk anggaran kegiatan riset ada alokasi anggaran di badan penelitian dan pengembangan kesehatan di Kemenkes sekitar Rp 818,7 juta atau 1 persen dari belanja kemenkes. Sebagian besar dari anggaran belanja untuk riset digunakan untuk mendukung manajemen sekitar Rp 625,4 juta dan untuk program Riset dan Inovasi Pengetahuan dan Teknologi hanya Rp 193,3 juta.

“Ini yang menurut kami anggaran riset terutama di masa pandemi ini masih sangat rendah,” ujar Misbah.

Selanjutnya janji palsu ketujuh terkait belanja infrastruktur. Di postur APBN 2021 saat ini anggaran infrastruktur naik signifikan. Belanja modal di RAPBN di 2021 naik sekitar 82 persen atau meningkat Rp 112,9 triliun dari Rp 137,4 triliun di 2020. 

Sayangnya anggaran infrastruktur yang tinggi ini tidak digunakan untuk melengkapi fasilitas kesehatan. Ini menjadi catatan Fitra, kebanyakan belanja modal tersebut untuk agenda digitalisasi serta pembangunan infrastruktur pada kawasan perbatasan.

Janji palsu kedelapan yaitu bahwa hutang negara saat ini dianggap masih aman oleh pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Keuangan Negara 60 persen dari PDB, sedangkan Indonesia sudah melampaui 30 persen lebih. 

Bahkan di 2021 belanja bunga utang itu sekitar Rp 372,3 triliun sudah melebihi anggaran untuk penanganan covid-19 di 2021. “Ini apakah asumsinya bahwa covid-19 di 2021 itu memang sudah bisa ditangani atau seperti apa, tetapi ini menjadi beban berat dalam jangka menengah maupun jangka panjang bahwa hutang kita semakin meroket bahkan bunga hutangnya saja sudah melebihi anggaran untuk penanganan covid-19,” ujar Misbah. 

Kemudian janji palsu yang kesembilan yakni bahwa anggaran covid-19 menurut Fitra belum responsif gender dan belum inklusif. Menurut Fitra berdasarkan riset yang dilakukan LBH APIK yang mencatat tingginya kasus kekerasan selama pandemi. 

Tetapi anggaran-anggaran untuk penanganan kasus kekerasan selama ini masih sangat minim. Bahkan insentif untuk tenaga medis, menurut Misbah, dianggap diskriminatif. Tenaga kesehatan dalam memerangi covid-19 ada di paling garis paling depan mendapat insentif yang relatif kecil. 

“Selain itu kebijakan pemerintah untuk penanganan covid-19 ini juga belum memperhatikan kebutuhan kelompok rentan dan marjinal misalnya kawan-kawan ODHA yang masih membutuhkan ARV saat ini sudah mulai langkah terus mungkin yang penyandang disabilitas juga karena yang terpapar covid itu juga ada kelompok-kelompok dari disabilitas,” kata Misbah.