Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

albert einstein

Filsafat Iluminasi Einstein dan Al-Ghazali



Opini, – Puncak tertinggi pengertian cahaya sebagai materi didengungkan oleh Albert Einstein. Dia menyebut: cahaya adalah radiasi elektromagnetik, baik dengan panjang gelombang yang kasat mata ataupun yang tidak. Sebelumnya, cahaya diartikan sebagai energi yang berbentuk gelombang elektromagnetik kasat mata dengan panjang gelombang sekitar 380–750 nm.

Kata-kata “tak kasat mata” muncul setelah adanya sebuah percobaan yang dilakukan oleh Einstein dalam usahanya melampaui kecepatan cahaya. Percobaan ini unik, yaitu tanpa menggunakan laboratorium. Eksperimen ini, dia lakukan di alam pikirannya saja, tidak seperti biasanya yang didukung oleh kelengkapan laboratorium ataupun tempat percobaan lainnya. Konsep ini, akhirnya telah memperkokoh filsafat iluminasi yang sudah lama ada pada agama-agama di dunia.

Semua eksperimen yang dilakukan oleh Einstein pada dasarnya adalah gerak dan nyawa sebuah filsafat. Karena yang digeluti adalah cahaya, maka boleh dikatakan bahwa Einstein juga berfilsafat iluminasi. Einstein telah berhasil menggapai sekumpulan cahaya luar angkasa tersebut dalam alam pikirannya. Hal ini berarti, cahaya yang mempunyai energi besar akan membutuhkan waktu yang lama dalam melaju di ruang hampa, serta sulit untuk digapai oleh alat-alat laboratorium.

Dengan besaran energi cahaya yang tinggi, cukuplah bagi Einstein untuk membedahnya di alam pikirannya saja. Karena materi di sekelilingnya tak mampu lagi menjadi parameter. Hanya dengan akal pikiran beserta kebesaran hati yang akan mampu mengiringi kecepatan dan besaran cahaya yang tertinggi. Apa yang telah dilakukan oleh Einstein jelas merupakan sebuah thoriqoh (jalan) dalam memahami cahaya sebagai salah satu unsur terpenting dalam filsafat iluminasi.

Filsafat iluminasi Einstein sebenarnya sudah terdeskripsikan secara implisit dalam filsafat iluminasi Al-Ghazali dalam sebuah tajuk Al-Misykat Al-Anwar. Perbedaan filsafat illuminasi antara al-Ghazali dan Einstein hanya pada tataran terminologi saja. Sedangkan esensi atau substansi wacana dan pemikiran yang terkandung adalah sama.

Peradaban Persia kuno juga kaya akan ada filsafat illuminasi. Mereka telah menyatakan tentang prinsip dualisme Tuhan; cahaya (nur) dan kegelapan (zhulum). Pemberian nama filsafat iluminasi pada dasarnya memang berhubungan erat dengan dengan cahaya. Iluminasi dipahami sebagai upaya pencerahan dari Tuhan ke dalam diri manusia.

Tak peduli berapa jumlah Tuhannya. Karena berbicara tentang pencerahan ketuhanan, maka teori-teori dalam filsafatnya akan banyak menggunakan simbol cahaya dan hal-hal yang terkait dengannya. Pun kalau dirunut juga, akan berputar-putar saja keterkaitan cahaya dengan ajaran Hermes, Phitagoras, Plato, Aristoteles, Neo Platonisme, Zoroaster dan filsuf-filsuf Mesir kuno. 

Persia Kuno menganggap bahwa ada dualisme Tuhan; Tuhan cahaya dan Tuhan kegelapan, yang masing-masing berdiri sendiri dan independen. Sedangkan para filsuf Islam, menganggap bahwa cahaya hakiki adalah Tuhan. Adapun kegelapan bisa mewujud karena jauh dari sumber cahaya yaitu Tuhan.

Nah, di sinilah ada keterkaitan antara jarak dan sumber cahaya. Kekuatan cahaya akhirnya bergantung pada jarak, ruang dan waktu. Dan semua ini sudah diteliti oleh Einstein. Ketikan filsus berkecimpung dalam kaidah dan kebijaksanaan tentang cahaya, maka Einstein dengan dukungan materi uji, dapat dengan sukses menghantarkan filsafat iluminasi pada tataran material yang terukur.

Jadi, hakikat cahaya itu adalah cahaya itu sendiri (pancaran ketuhanan) sekaligus pantulan cahaya yang berupa konsep-konsep ketuhanan yang cemerlang. Cahaya yang disematkan pada selain Tuhan adalah sebatas penisbatan yang tidak hakiki (majaziy), sebagaimana pendapat yang telah dikemukakan oleh al-Ghazali dalam kitabnya.

Einstein juga berfilsafat tentang sebuah kegelapan. Bagi Albert Einstein, kegelapan adalah ketidakadaan dari sesuatu. Anda bisa mendapatkan cahaya redup, cahaya normal, cahaya terang, cahaya yang berkedip-kedip.

Tapi, jika anda tidak mempunyai cahaya, maka, Anda tidak memiliki apapun. Dan, itu disebut dengan kegelapan, bukan? Dalam sebuah realitas praktis, kegelapan itu sebenarnya tidak ada. Jika ada, maka Anda akan mampu membuat kegelapan semakin gelap bukan?

Dengan dinamika ilmu pengetahuan serta kebijaksanaan, maka berkembanglah beberapa aliran filsafat yang lahir dengan genrenya masing-masing. Kelahiran berbagai macam genre ataupun berbagai aliran, merupakan pelengkap dari masing-masing kekurangan yang ada.

Beberapa aliran tersebut diantaranya adalah: filsafat iluminasi (al-isyraqiyyah), filsafat peripatetik (masyaiyyah), Aristotelian, setoicisme (rawaqiyyah), hikmah al-muta’aliyyah (filosofi transendental), Mulla Sadra dan Mulla Hadi Syabzawari. Pada dasarnya, kesemua aliran filsafat tersebut pasti melibatkan cahaya dan berbicara tentang cahaya.

Keanekaragaman aliran filsafat adalah ciri khas dinamika sebuah filsafat. Keunikannya terdapat pada perkembangan daya nalar dan kritisismenya. Aliran filsafat Illuminasi mengkritik Peripatetik, sebaliknya Peripatetik mengkritik Illuminasi. Stocisisme mengkritik Peripatetik dan sebaliknya. Dengan demikian, tercipta dinamika pemikiran.

Sebenarnya apa yang dilakukan Einstein, juga merupakan pemikiran sebuah filsafat iluminasi. Ujung kokohnya adalah: ketika Einstein mencoba eksperimen untuk melampau kecepatan cahaya di sebuah ruang pemikirannya, artinya laboratoriumnya sudah tak mampu lagi melakukan ujicoba dan pembedahan permasalahan ini.

Dalam kitab al-Misykat al-Anwar, Al-Ghazali menyebutkan: tidak ada dualisme cahaya. Perbedaan antara illuminasi al-Ghazali dan filsafat Persia dan Yunani kuno hanya sebatas pada tataran istilah dan terminologi saja, seperti istilah nur (cahaya) dan zhulm (kegelapan).

Di Persia kuno, terdapat agama Majusi atau Zoroaster penyembah api. Bagi agama Majusi, api merupakan perlambang Tuhan yang telah memberi cahaya pada umat manusia dalam menerangi jalan kehidupan. Di malam hari, tanpa ada cahaya api, niscaya akan gelap-gulita. Itulah ujung kokoh bagi Zoroaster, akan tetap melibatkan cahaya dan membahas cahaya.

Einstein cenderung berfilsafat dengan dibarengi eksperimen yang kemudian berakhir dengan teori dan bisa dinikmati dengan kasat mata ataupun tak kasat mata. Teori tersebut bisa dipahami secara sederhana.

Meski sejatinya sangat rumit, pemahaman Einstein tentang cahaya yang pertama adalah: tidak ada kerangka acuan yang mutlak. Setiap saat ketika kita mengukur kecepatan, momentum, atau pengalaman terhadap waktu sebuah objek, itu selalu ada kaitannya dengan sesuatu yang lain. 

Kedua, cepat rambat cahaya di dalam ruang hampa ke segala arah adalah sama untuk semua pengamat, tidak tergantung pada gerak sumber cahaya maupun pengamat. Yang ketiga, bahwa tak ada yang melampaui kecepatan cahaya. 

Implikasi dari teori tersebut sangat besar. Jika kecepatan cahaya selalu sama, 300.000.000 m/detik, itu berarti pesawat yang membawa astronot bergerak sangat cepat relatif terhadap Bumi. Dari sudut pandang pengamat di Bumi, waktu astronot melambat. Sebuah fenomena yang disebut dengan dilatasi waktu. Dan ini sering disinggung di dalam Alquran.

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun (Q.S. Al-Ma’arij : 4)

Apa yang tercantum dalam ayat tersebut jelaslah bahwa kecepatan para malaikat dan malaikat Jibril itu sama dengan kecepatan cahaya yang besarnya 3 x 108m/s. Dan, memang pada dasarnya para malaikat itu diciptakan dari nur (cahaya).

Antara filsafat iluminasi dengan fisik cahaya itu sendiri sangatlah dekat. Cahaya adalah iluminasi dari sesuatu yang memancar, baik pantulan ataupun sebagai sinar (sumber cahaya). Keuniversalan konsep cahaya dengan semua ajaran agama dapat dilihat dalam keterlibatannya pada teks-teks kitab suci.