Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Film, Maskulinitas, dan Kekerasan Seksual
sumber: istimewa

Film, Maskulinitas, dan Kekerasan Seksual



M. Rosyid H.W.


Film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) adalah hasil alih wahana dari novel Eka Kurniawan yang berjudul sama. Film yang disutradarai Edwin ini menceritakan tentang seorang laki-laki bernama Ajo Kawir dari Bojongsoang dengan penis yang tidak bisa ngaceng. Ia berkata, “Hanya orang yang burungnya tidak bisa ngaceng yang tidak mati”. Kalimat pembuka dengan menonjolkan atribut maskulinitas ini adalah jalan penuntun film. 

Sinema berdurasi 114 menit ini bertitimangsa pada tahun tahun 1980-an dan 1990-an. Penandanya adalah gerhana matahari pada tanggal 11 Juni 1983 dengan rezim Orde Baru yang sangat kuat mencengkeram send-sendi kehidupan. “Jangan Mencoba-coba Melihat Gerhana Matahari Walaupun Hanya Sedetik”, begitu bunyi pernyataan Soeharto. Sebuah maklumat bahwa aparat begitu digdaya untuk melakukan apapun. Hal ini digambarkan dengan tokoh dua aparat yang hendak memperkosa perempuan bernama Rona Merah dan kelicikan Paman Gembul. 

Berlatar hegemoni kuasa Orde Baru, film ini ini penuh dengan adegan pertarungan-pertarungan masyarakat sipil meskipun berfokus pada rajutan dengan kisah cinta Ajo Kawir dengan Iteung. Terdapat dua pesan penting dari film ini yaitu maskulinitas toksik dan kekerasan seksual.

Menggugat Maskulinitas

Sebagai identitas, maskulinitas adalah kontruksi sosial yang bersifat cair. Maskulinitas dilihat dari bagaimana tokoh laki-laki digambarkan dalam sebuah film dan dipandang oleh tokoh-tokoh lainnya dalam keseluruhan cerita. Maskulinitas tidaklah tunggal, tetapi mewujud dalam bentuk yang berbeda-beda.

Maskulinitas melalui tokoh Ajo Kawir misalnya. Di satu sisi, maskulinitas digambarkan dengan begitu gahar tetapi, di sisi lain, juga dilucuti habis-habisan. Maskulinitas dari Ajo Kawir dikaitkan dengan kekuatan dan keperkasaan laki-laki. Ajo Kawir adalah jagoan petarung handal yang tak terkalahkan. Namun, kelaki-lakiannya juga dipertanyakan saat penisnya tak mampu ereksi. Meskipun ia berhasil menikahi Iteung, Ajo Kawir berpikir bahwa ia tak sepenuhnya jadi laki-laki sejati saat burungnya tak mampu berdiri. Melalui penis impoten, maskulinitas seperti sedang digugat habis. 

Seperti halnya Ajo Kawir, Budi Baik juga mengagungkan kegagahan dan kekuasaannya. Namun, ia diberkati dengan kejantanan yang tak dimiliki Ajo Kawir hingga ia mampu menghamili Iteung. Namun, dengan atribut maskulinitasnya, Budi Baik malah tak mampu meraih dan memiliki cinta perempuan yaitu Iteung. Sebuah potret maskulintas yang kontradiktif.  

Walhasil, melalui tokoh Ajo Kawir dan Budi Baik, Film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas menggambarkan maskulinitas yang memuja kekuatan dan kekerasan kelak akan berujung pada kesengsaraan dan penderitaan.

Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual menjadi salah satu tema yang dipotret dalam film ini. Kekerasan seksual yang tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki. Ajo Kawir mengalami trauma hingga burungnya tak dapat berdiri karena waktu kecil ia mengalami kekerasan seksual akibat melihat dua aparat yang ingin memperkosa perempuan gila bernama Rona Merah.

Sementara Iteung semasa kecil mengalami pemerkosaan oleh gurunya sendiri sehingga ia terus mengalami trauma ketika dewasa. Adegan saat Iteung mual dan muntah setelah Budi Baik ejakulasi menunjukkan trauma masa kecil Iteung. Bahwa trauma akibat kekerasan seksual benar-benar ada dan nyata. 

Trauma akut akibat kekerasan seksual juga dialami oleh May pada film 27 Steps of May (2019). May diperkosa pada umur 14 tahun. Akibatnya, ia mengalami trauma hingga ia menutup diri dan membisu tak berkata-kata seumur hidupnya. Dengan getir, May mengalami penderitaan-penderitaan psikologis yang tak mudah disembuhkan. Nyala hidupnya mati sejak ia diperkosa.

Selain trauma, adegan kunci tentang perempuan dalam Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas  adalah persetubuhan Iteung dan Budi Baik. Iteung berada di atas dengan menindih dan menutup mata Budi Baik. Adegan ini adalah tanda penolakan atas male gazeMale gaze adalah kondisi saat perempuan dalam film dilihat dari sudut pandang laki-laki dan perempuan direpresentasikan sebagai objek pasif dari hasrat laki-laki. Maka, menempatkan fokus kamera pada Iteung di atas tubuh Budi Baik adalah perlawanan atas male gaze. 

Posisi Iteung ini adalah bentuk perlawanan atas dominasi laki-laki. Hal ini senada dengan pesan dalam film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Marlina yang pernah diperkosa oleh Markus membayarkan dendamnya dengan memenggal kepala Markus. Marlina dan Iteung adalah potret perempuan pemberani yang terus muncul untuk memenggal segala bentuk diskriminasi, marginalisasi dan penindasan. Perlawanan perempuan adalah sebuah sirine perlawanan terhadap bahaya penindasan perempuan dan kekerasan seksual yang masih terus terjadi.

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) mengajukan kritik atas kekerasan terhadap perempuan. Film ini menggambarkan tentang Iteung sebagai sosok pemberani yang mengajukan perlawanan terhadap laki-laki yang sewenang-wenang terhadap dirinya. Buktinya, tiga laki-laki yaitu Budi Baik dan dua aparat sekarat di tangannya. Hal ini berbeda dengan film-film di masa Orde Baru yang menggambarkan perempuan yang tak melawan dalam kekerasan seksual. Khrisna Sen dalam buku Indonesian Cinema: Framing the New Order berpendapat bahwa pemerkosaan adalah hal biasa dalam sinema Indonesia dan wanita sebagai korban adalah pihak yang pasif dan pasrah.  

Film-film seperti 27 Steps of May (2019), Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), dan  Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) menggaungkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan masih dan masih menjadi masalah di negara ini. Riset IPSOS pada tahun 2021 menyatakan bahwa 82% perempuan Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Sementara itu, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan seksual mayoritas masih diselesaikan secara kekeluargaan, alih-alih melalui jalur hukum. Untuk itu, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) harus segera disahkan demi perlindungan atas perempuan dengan kekuatan hukum tetap. 

Sebagai penutup, kehadiran Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah bentuk penggambaran alternatif dari kesetaraan gender dalam representasi film melalui gugatan atas maskulinitas toksik dan trauma atas kekerasan seksual.


M. Rosyid H.W.: Mahasiswa Kajian Sastra dan Budaya, Pascasarjana Universitas Airlangga. Esai dan cerita pendeknya dimuat di berbagai media masa seperti Jawa Pos, Media Indonesia, Kompas.id dan lain-lain. Kumpulan cerpen terbarunya “Rembulan di Bibir Teluk” (Pelangi Sastra, 2021).