Facebook Hapus Halaman Utama Akun Militer Myanmar
Berita Baru, Internasional – Facebook telah menghapus halaman utama akun militer Myanmar karena melanggar standar perusahaan yang melarang adanya hasutan kekerasan.
“Sejalan dengan kebijakan global kami, kami telah menghapus Halaman Tim Informasi Berita Sejati Tatmadaw dari Facebook karena pelanggaran berulang terhadap Standar Komunitas kami yang melarang hasutan kekerasan dan mengoordinasikan tindakan merugikan,” kata Facebook dalam sebuah pernyataan.
Penghapusan tersebut, seperti dilansir dari The Guardian, Minggu (21/2), terjadi saat internet di negara itu diblokir selama tujuh malam berturut-turut.
Ketika pengunjuk rasa mulai berkumpul di dua kota terbesar di Yangon dan Mandalay, muncul berita bahwa aktor terkenal Lu Min telah ditangkap. Dia adalah satu dari enam orang paling dicari karena menyerukan ajakan protes kepada pegawai negeri. Tuduhan itu bisa berisiko hukuman dua tahun penjara.
Min adalah aktor yang telah membintangi 1000 film dan memenangkan berbagai penghargaan di negara asalnya. Ia terlibat dalam beberapa aksi protes.
Istrinya, Khin Sabai Oo, mengatakan dalam sebuah video yang diposting di halaman Facebook-nya bahwa polisi telah datang ke rumah mereka di Yangon dan membawanya pergi pada hari Minggu pagi.
“Mereka membuka paksa pintu dan membawanya pergi dan tidak memberi tahu saya kemana mereka akan membawanya. Saya tidak bisa menghentikan mereka. Mereka tidak memberitahuku.”
Pada hari Minggu (21/2), para pengunjuk rasa kembali menggelar aksi protes setelah dua pengunjuk rasa sebelumnya meninggal karena tembakan peluru oleh polisi dan tentara.
Di Yangon, ribuan pemuda berkumpul untuk meneriakkan slogan-slogan, sementara ratusan lainnya berkumpul di kota Mandalay, melakukan kasi damai.
“Jumlah orang akan bertambah hari ini dan kami tidak akan berhenti. Kami akan melanjutkan tujuan demokrasi kami,” kata Yin Nyein Hmway di protes Yangon.
Orang-orang juga berbaris di pusat kota Monywa dan Bagan dan kota selatan Dawei dan Myeik.
Di kota Myitkyina di utara, yang telah mengalami konfrontasi dalam beberapa hari terakhir, orang-orang meletakkan bunga untuk para pengunjuk rasa yang tewas. Sementara massa aksi yang lainnya membawa spanduk sambil berkeliling dengan sepeda motor.
“Mereka membidik kepala warga sipil yang tidak bersenjata. Mereka membidik masa depan kami,” kata seorang pengunjuk rasa muda di Mandalay kepada kerumunan.
Demonstrasi dan kampanye pembangkangan sipil belum menunjukkan tanda-tanda mereda, mereka skeptis dengan janji militer yang mengatakan akan mengadakan pemilihan baru dan menyerahkan kekuasaan kepada pemenang.
Kelompok aktivis, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, mengatakan pada hari Sabtu (20/2) bahwa 569 orang telah ditangkap, didakwa atau dijatuhi hukuman sehubungan dengan kudeta tersebut.
Gelombang protes telah bergulir selama dua minggu sejak kudeta pada 1 Februari. Mereka terdiri dari berbagai elemen masyarakat yang turut serta menyuarakan demokrasi dan menentang kudeta.
Anggota etnis minoritas, penyair, rapper dan pekerja transportasi turun jalan pada hari Sabtu di berbagai tempat. Namun ketegangan meningkat dengan cepat di Mandalay di mana polisi dan tentara menghadapi pekerja galangan kapal yang mogok.
Beberapa demonstran menembakkan ketapel ke arah polisi yang menanggapi dengan gas air mata dan tembakan, kata saksi mata.
Seorang pengunjuk rasa dirawat oleh petugas medis setelah dipukuli oleh pasukan keamanan selama demonstrasi menentang kudeta militer di Mandalay pada 20 Februari.
Klip video yang beredrar di media sosial juga memperlihatkan anggota pasukan keamanan meluncurkn tembakan dan para saksi mata mengatakan mereka menemukan selongsong peluru tajam dan peluru karet.
Dua orang tewas dalam tembakan, sementara 20 lainnya mengalami luka-luka, kata Ko Aung, pemimpin layanan darurat relawan Parahita Darhi.
Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), mengutuk kekerasan yang terjadi di Mandalay sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada hari Jumat (19/2), seorang pengunjuk rasa wanita muda meninggal setelah ditembak di kepala minggu lalu di ibu kota, Naypyidaw. Merupakan kematian pertama di antara para demonstran anti-kudeta.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengutuk kekerasan mematikan itu. “Penggunaan kekuatan mematikan, intimidasi dan pelecehan terhadap demonstran damai tidak dapat diterima,” katanya di Twitter.
”Saya mengutuk penggunaan kekerasan mematikan di Myanmar. Penggunaan kekuatan mematikan, intimidasi & pelecehan terhadap demonstran damai tidak dapat diterima. Setiap orang memiliki hak untuk berkumpul secara damai. Saya meminta semua pihak untuk menghormati hasil pemilu dan kembali ke pemerintahan sipil.”
Juru bicara departemen luar negeri AS, Ned Price, mengatakan Amerika Serikat sangat prihatin dengan laporan bahwa pasukan keamanan telah menembaki pengunjuk rasa dan terus menahan demonstran dan warga sipil lainnya.
Prancis, Singapura dan Inggris juga mengutuk kekerasan tersebut, dengan menteri luar negeri Inggris, Dominic Raab, mengatakan bahwa penembakan terhadap pengunjuk rasa damai di luar batas.
AS, Inggris, Kanada dan Selandia Baru telah mengumumkan sanksi terbatas sejak kudeta, dengan fokus pada para pemimpin militer.
Menteri luar negeri Uni Eropa akan bertemu hari Senin untuk membahas tindakan mereka sendiri terhadap rezim.