Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Eskalasi Lubang Cacing: Paradoks Perang Nuklir Model Baru
(U.S. Marine Corps photo by Lance Cpl. Matthew Bragg)

Eskalasi Lubang Cacing: Paradoks Perang Nuklir Model Baru



Berita Baru, Internasional – Rebecca Hersman mempopulerkan istilah metafora baru ‘eskalasi lubang cacing’ atau wormhole escalation dalam menggambarkan situasi krisis strategis antar negara-negara bersenjata nuklir karena konsep eskalasi bertangga atau escalation ladder kini dianggap kurang memadai, Sabtu (11/7).

Sebagai penasihat senior dari Program Keamanan Internasional dan Direktur Isu-Isu Nuklir di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Rebecca Hersman mempopulerkan istilah itu dalam jurnal yang ia terbitkan di Texas National Security Review edisi ‘Summer 2020’ dengan judul Wormhole Escalation in the New Nuclear Age.

Eskalasi bertangga, yang dipopulerkan oleh Herman Kahn, menggambarkan jalur eskalasi linier yang berkesinambungan antara krisis tingkat rendah dan tingkatan lainnya. Namun Hersman menganggap konsep itu tidak lagi memadai karena kompleksitas konflik di berbagai tingkat di tiap negara.

Hersman memilih metafora ‘lubang cacing’ karena menurutnya terdapat persamaan dengan teori lubang cacing dalam fisika dan fiksi ilmiah, di mana lubang itu merupakan ‘jalan pintas’ yang menghubungkan dua titik dalam ruang-waktu berbeda.

Eskalasi lubang cacing berarti pembukaan dua pintu secara tiba-tiba, lalu negara-negara yang berkonflik dapat secara tidak sengaja masuk dan melintasi berbagai tingkat konflik sub-konvensional dan strategis dengan cara-cara yang dipercepat dan tidak linier.

Lebih lanjut, dalam jurnal itu, Hersman mengeksplorasi tiga cara di mana dinamika ekskalasi lubang cacing itu dapat terungkap di negara-negara yang bersenjata nuklir, terutama Amerika Serikat, Rusia, China dan Iran.

Menjaga Stabilitas Konflik Sub-Konfensional

Pertama-tama, Hersman mengeksplorasi tantangan menjaga stabilitas krisis dalam konflik sub-konvensional (teknologi, dunia maya, disinformasi, berita palsu, dan media sosial, dsb).

“Kemajuan dalam teknologi digital, dari kesalahan besar hingga kampanye media sosial yang mendukung kecerdasan buatan, mengubah kecepatan dan ketepatan yang dapat digunakan …. untuk memanipulasi target yang diinginkan,” terang Hersman.

Bentuk-bentuk konflik sub-konvensional itu terjadi mulai dari ikut campur dalam pemilihan presiden, peretasan sistem informasi suatu pemerintah negera, kampanye boikot, dan sebagainya.

Korea Utara, Rusia dan China baru-baru ini dikabarkan telah meningkatkan serangan siber dan kampanye disinformasi (hoaks, pemalsuan, dsb) mereka untuk ‘menghancurkan’ Amerika Serikat dengan cara nonmiliter.

Dari situ, Hersman menggaris bawahi perang informasi dapat mempengaruhi pengambilan keputusan krisis nuklir dan merusak fondasi politik serta kepercayaan publik terhadap komando nuklir dan sistem kontrol suatu negara.

Potensi Eskalasi Konflik Konvensional

Selanjutnya, Hersman menguraikan potensi eskalasi konflik konvensional (senjata nuklir) yang tiba-tiba muncul karena pengaruh teknologi yang semakin maju hingga membuat konflik sub-konvensional semakin kompleks.

Teknologi canggih (kecerdasan buatan, hipersonik, dsb,) dapat mematikan kemampuan bertahan dari senjata-senjata konvensional. Teknologi canggih, kemudian, menantang gagasan tradisional tentang stabilitas hingga membuka jalan baru menuju krisis strategis.

“Saat ini, perbedaan antara hirarki konflik kelas atas telah menjadi buram karena negara semakin bergantung pada kemampuan non-nuklir untuk mencapai tujuan strategis,” tulis Hersman.

Dalam situasi seperti itu, efek dari eskalasi lubang cacing muncul: ketika negara berusaha untuk bersaing dan menang di tingkat sub-konvensional, maka risiko krisis strategis dapat meningkat, bahkan ketika risiko konflik konvensional antara negara-negara bersenjata nuklir menurun.

Hersman menggaris bawahi bahwa negara-negara kecil akan lebih efektif dalam bersaing di ranah informasi digital daripada bersaing dalam kompetisi militer.

“Dengan teknologi digital canggih, aktor non-negara dan kekuatan kecil dapat menghadapi negara-negara yang unggul secara militer … Ini dapat mengaburkan atribusi dan mempercepat waktu antara peluncuran dan dampak, membuatnya sulit untuk melacak di mana serangan berasal atau siapa yang berada di belakangnya,” tulis Hersman.

Misalnya saja, menggunakan malware Trojan Horse. Dengan menggunakan itu, seorang aktor (negara atau non-negara) dapat memungkinkan ia bisa melakukan serangan jarak jauh melalui jaringan siber dengan tanpa diketahui seperti strategi kuda Trojan Troya.

Hal itu dipersulit dengan munculnya fakta bahwa pembahasan mengenai norma dan kode etik untuk informasi dan perang siber sudah lama tertunda.

Usaha Keluar Dari ‘Lubang Cacing’

Situasi yang komplek itu menjadikan konsep ‘eskalasi bertangga’ kurang memadai saat ini.

“Lingkungan keamanan yang kompetitif dan sangat timpang saat ini menyarankan perlunya konsep dan metafora baru untuk memahami dan mengelola risiko eskalasi yang muncul,” jelas Hersman.

Dipicu oleh lingkungan keamanan yang semakin kompetitif, teknologi canggih, dan tatanan global yang lebih terfragmentasi, maka akan ada kemungkinan eskalasi lubang cacing muncul.

Pada intinya, perang saat ini bukan terbatas lagi pada penghancuran secara membabi buta dengan dalam perang senjata konvensional, akan tetapi perang saat ini mulai beralih pada medan baru.

Fenomena buzzer menandai bagaimana media sosial kini bisa menjadi senjata ambuh untuk ‘menhancurkan musuh’. Selain itu, informasi dan data dari open-source yang dulunya adalah sesuatu yang eksklusif para intelijen, kini berubah menjadi publik.

“Dalam konteks ini, perang kecil dapat dengan cepat berubah menjadi perang besar dengan cara yang sulit diantisipasi atau dikelola,” catat Hersman.

Menghadapi situasi rumit seperti itu, Hersman menyarankan dua alternatif: pertama, membangun ketahanan yang ketat; kedua, membangun struktur dan lembaga kontrol senjata kolektif, dengan mekanisme penyelesaian sengketa dan penegakan kepatuhan yang ketat.

Lembaga kontrol itu harus dapat mengurangi konflik dan menahan tindakan impulsif atau tindakan berisiko lainnya, namun harus bergerak secara fleksibel, kontekstual dan tidak terlalu kaku karena begaram model alternatif adalah kuncinya.

“Lubang cacing secara inheren tidak stabil. Baik dalam hal perjalanan ruang angkasa maupun dalam eskalasi nuklir, lubang cacing itu sebaiknya dihindari,” tulis Hersman.