El Pibe de Oro
Ahmad Erani Yustika
(Guru Besar FEB Universitas Brawijaya)
Hidupnya dihiasi oleh empat sisi: prestasi, kontroversi, imajinasi, dan empati. Capaian puncak pesepakbola bukan menjadi pemain terbaik dunia, namun mengantarkan negaranya merengkuh Piala Dunia. Banyak pemain raksasa yang memperoleh deretan gelar sebagai pemain terbaik dunia, tapi gagal memimpin negaranya mengangkat Piala Dunia. Maradona cuma segelintir pemain yang bisa mengakumulasi diri sebagai pemain hebat, membawa klub menjadi jawara, dan mewujudkan negaranya menjunjung Piala Dunia. Ia simbol prestasi.
Perjalanannya tidak pernah sepi dari berita. Ucapannya ditunggu layaknya fatwa, bahkan ketika sudah pensiun dari arena bola. Ia masih diperebutkan klub dan beberapa negara sebagai pelatih, tapi ia sangat pemilih dalam soal ini. Gol “Tangan Tuhan” ke gawang Inggris menjadi kisah abadi yang selalu dibicarakan dan ditayangkan hingga kini. Dia juga tak ragu masuk ke ranah politik atau diskursus publik. Salah satu yang dengan tegas ia katakan: “I hate everything that comes from the US. I hate it with all my strength.” Ia bunyi kontroversi.
Ia lahir dari negara bola dan tumbuh di klub-klub raksasa. Selalu saja yang ia produksi adalah hal terbaik. Negara dan klub dibawa ke langit. Namun, kisah hidupnya adalah elan perlawanan. Dia tak ingin menjadi bagian dari kemapanan. Hidup yang dipertaruhkan adalah hayat yang dimenangkan. Ia putuskan bergabung dan berjuang di klub yang tak ada dalam peta bola masa itu: Napoli. Klub Italia yang berasal dari selatan itu selalu terpuruk peringkatnya karena dilindas klub-klub kaya dari wilayah utara. Maradona mengubahnya, Napoli meraih mahkota: melumpuhkan kepongahan klub utara. Ia sumber imajinasi.
Dua kisah di Napoli menunjukkan sisi hidup Maradona yang melegenda. Pertama, saat ia hijrah dari Barcelona, rakyat Napoli rela iuran untuk membayar biaya transfer paling mahal saat itu. Sampai sekarang belum pernah terulang pengalaman tersebut: rakyat suatu wilayah ikhlas melakukan segala hal untuk memilikinya. Kedua, Maradona rela melakukan pertandingan amal dengan klub amatir di lapangan becek demi biaya operasi 6 anak miskin di kampung kumuh (dekat Napoli) Italia. Manajemen Napoli melarangnya bertanding (khawatir dirinya cedera), namun elan kemanusiaan tetap menggerakkan Maradona bertanding. Ia kisah empati.
Pada ujungnya ia menikmati kemasyhuran. Status itu memang layak dia sandang. Hal yang paling ia benci ialah apabila dibandingkan dengan Pele. Baginya, ia tetap yang terbaik (seperti yang dikatakan Ibunya). Instagram yang saya ikuti cukup lama menggambarkan hidupnya yang bersih dan bahagia. Tiap hari adalah paras cinta dan ceria. Tapi banyak yang tak mengira, uang dan segala gelar bukanlah yang utama baginya. Ia lebih memilih keluarga sebagai sumber gembira. “My legitimate kids are Dalma and Giannia. The rest are a product of my money and mistakes,” tukasnya. Bahagia dan mulia, El Pibe de Oro.