Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Eksistensialisme Batik
Ilustrasi foto: Kemdikbud

Eksistensialisme Batik



Eksistensialisme Batik

Ahmad Erani Yustika

Guru Besar FEB Universitas Brawijaya


Batik telah naik tahta dalam pergulatan adi busana 20 tahun terakhir. Tak jelas secara pasti kapan mulainya dan latar gerakannya. Corak fashion warga selama puluhan tahun didikte oleh pasar (internasional). Tren kemeja, celana, dasi, dan sepatu praktis diatur oleh oligarki produsen Barat. Konsumen tak berdaya melawan sebab pada ujungnya akan didakwa sebagai pecundang kemajuan. Pikiran mereka disirep oleh norma modernitas lewat perang iklan TV, radio, koran, dan kanal lainnya.

Sikap eksistensial mesti diwujudkan oleh otonomi dan kebebasan pikiran dalam mengekpresikan cara hidup, termasuk aspirasi berpakaian. Individu tegak dengan nalar masing-masing, tidak menjadi pengekor, apalagi dibekap oleh kesadaran palsu.

Situasi ini persis dengan cara publik mendefinisikan cantik atau ganteng. Badan langsing, rambut hitam/pirang, dan kulit langsat adalah bagian dari identitas kesempurnaan tubuh. Individu yang hanya memiliki salah satu atau malah tidak seluruh kriteria itu, tak layak disebut paripurna. Mereka adalah kaum cemar yang tidak laik jadi teladan penampilan. Alat kecantikan, produk pelangsing, komoditas pencerah kulit, sampai industri operasi plastik menjadi barang dagangan yang laris. Orang memburunya mirip kebutuhan pokok hidup.

Soren Kierkegaard, filsuf eksistensialis utama, pasti kecewa dengan kenyataan tersebut. Ia sejak mula berargumen bahwa individu selayaknya bertanggung jawab memberikan makna bagi hidup dan kehidupan: menghidupi makna itu secara jujur dan otentik. Sikap eksistensial mesti diwujudkan oleh otonomi dan kebebasan pikiran dalam mengekpresikan cara hidup, termasuk aspirasi berpakaian. Individu tegak dengan nalar masing-masing, tidak menjadi pengekor, apalagi dibekap oleh kesadaran palsu.

Batik punya peluang besar menjadi perkakas perlawanan eksistensi yang otentik itu. Di luar soal debat asal muasal, Batik harus diakui sebagian (atau seluruh sejarah penemuannya) tersusun dari tradisi dan budaya bangsa. Itu sebabnya ia memenuhi syarat sebagai produk orisinil yang tidak didorong oleh megalomania pasar global. Namun, melihat perkembangan mutakhir, kita pantas cemas bahwa penggunaannya mungkin jauh dari kesadaran itu. Batik tak lagi lambang perlawanan, tapi obyek industri mode pakaian.

Jika ini ingin diluruskan, maka pemakaian Batik mesti diinsyafi sebagai kesadaran atas keyakinan identitas. Sebuah lelaku yang percaya bahwa pilihan atas produk adalah otonomi pikiran dan hasrat. Ia bukan keputusan labil atas pertimbangan nilai-nilai di luar dirinya. Manusia mesti keluar dari kerangkeng persepsi populer yang diselimuti kepentingan material. Bila batu bata keyakinan ini terus disusun untuk komoditas yang lain: sepatu, makanan, mobil, hp, tas, odol, permen, coklat, kedai kopi, dan seterusnya; maka sumber-sumber kedaulatan mulai tercipta. Selamat Hari Batik!