Ekonomi Politik Indonesia di Tengah Ancaman Perang Dunia III
Berita Baru, Jakarta – Diskusi bertajuk “Memahami Ekonomi Politik Indonesia pada Masa Ancaman Perang Dunia III” yang digelar pada Senin (1/7/2024) di Jakarta, menyajikan berbagai pandangan kritis terkait kondisi ekonomi dan politik global yang mempengaruhi Indonesia.
Didin S. Damanhuri saat menjadi pembicara dalam forum tersebut menyoroti ancaman nyata yang datang dari skenario Perang Dunia III yang diprediksi oleh Netanyahu melalui konflik Israel-Palestina.
“Bagi putih, ini adalah sebuah tantangan. Kami akan membangun pabrik nuklir yang sangat besar hingga perang dunia ketiga,” ujarnya, menggambarkan betapa seriusnya ancaman tersebut.
Didin juga mengkritik pendekatan GDP Oriented yang diterapkan banyak negara, termasuk Indonesia. Menurutnya, pendekatan ini membuat negara-negara berkembang menjadi korban karena terlalu fokus pada penghitungan ekonomi tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
“GDP Oriented mengeksploitasi pedesaan dan tidak kembali lagi ke desa,” tegas Didin, mengingatkan bahwa pendekatan ini dapat menjebak Indonesia dalam middle income trap dan menghambat pencapaian Indonesia Emas 2045.
Sementara itu, Wijayanto Samirin menekankan bahwa GDP sering digunakan karena mudah diukur dan dimanipulasi. Ia memberi contoh pulau di Maluku yang GDP-nya tinggi karena investasi dan kegiatan ekonomi lainnya, tetapi tidak mencerminkan kesejahteraan masyarakat setempat.
“GDP per kapita ini misleading di mana tingkat kemakmuran masyarakat di pulau tersebut tidak membaik sedangkan angka GDP-nya naik,” jelasnya.
Menurut Wijayanto, fokus yang berlebihan pada GDP membuat pemerintah mengabaikan sumber pendapatan yang berkelanjutan. Ia juga menyoroti bagaimana IMF dan World Bank sering kali memaksa negara-negara untuk mengikuti agenda mereka, yang bisa merugikan ekonomi lokal.
“Rupiah melemah dibanding mata uang negara lain karena terlalu fokus pada GDP,” tambahnya.
Fachry Ali memberikan perspektif baru dengan memperkenalkan konsep “Degrowth” sebagai kritik terhadap GDP Oriented. Konsep ini bukanlah teori ekonomi melainkan gerakan sosial yang dimulai di negara-negara Eropa untuk menentang pertumbuhan ekonomi yang merusak lingkungan dan masyarakat. Fachry juga menyarankan agar fokus pembangunan ekonomi diarahkan ke pedesaan untuk menciptakan distribusi pendapatan yang lebih adil.
“Kalau kemudian pandangan negara dipusatkan pada pembangunan ekonomi pedesaan maka implikasinya akan banyak yang dapat berpartisipasi di dalamnya,” ujarnya.