Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

EFT
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan RI, Joko Tri Haryanto bersama dengan Ahmad Taufiq dari The Asia Foundation (TAF) dan Sartika dari FITRA Riau saat menjadi narasumber dalam acara Mini Workshop Pengembangan TAPE/TAKE di Riau, Senin (4/10).

EFT Sebagai Bagian Roadmap Greening The Government



Berita Baru, Jakarta – Proyek pengembangan transfer anggaran berbasis ekologi di Indonesia atau yang juga disebut Ecological Fiscal Transfer (EFT) merupakan bentuk usaha dalam rangka mendorong kolaborasi perlindungan lingkungan hidup.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan RI, Joko Tri Haryanto mengatakan bahwa secara garis besar bicara EFT dapat dilihat dari tiga aspek besar sebagai Roadmap greening the government.

Hal itu ia ungkap dalam acara Workshop Mini Pengembangan TAKE/TAPE di Riau yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF) dan FITRA Riau, Senin (4/10), dengan tajuk Pengembangan Penerapan EFT.

Yang pertama, menurutnya, adalah melihat dari sisi hulu. Yaitu dimulai dari perbaikan proses perencanaan penganggaran sehingga bisa mendorong daerah untuk dalam menyusun RPJMD hijau dan berketahanan hijau.

“Ketika semua proses TAPE, TAKE dan inovasi lainnya secara politik anggaran bisa diterjemahkan dengan baik dalam visi-misi kepala daerah, di dalam dokumen RPJMD yang kemudian diturunkan menjadi RKPD, Renja, Renstra, RKA maka struktur berbagai inovasi terkait jasa lingkungan hidup akan lebih kuat,” katanya.

Kedua, perbaikan dari sisi tengah atau implementasi. Joko menyebut, perlu adanya penelusuran sumber-sumber yang nanti dijadikan sebagai Indikator dari EFT, sehingga mampu menilai kualitas hasil dari anggaran yang diberikan.

“Dari perbaikan RPJMD kita bisa masuk di implementasi eksekusi penganggarannya. Di dalam proses APBD yang hijau dan ketahanan bencana, kita bisa melakukan langkah-langkah reform se ehingga jelas output-outcomenya,” ujarnya.

Setelah melakukan konektivitas dari berbagai sisi, terakhir adalah bicara masalah ekspansi sebagai bentuk pemanfaatan dari perbaikan yang telah dilakukan di hulu dan implementasi.

“Ketika bicara ekspansi, tujuan utamanya adalah ekstensifikasi sumber-sumber-sumber pendanaan non APBD. Karena APBD dan APBN terbatas, sehingga kita harus memanfaatkan market dari berbagai sumber CSR,” tuturnya.

Menurut Joko, ketika bicara TAPE/TAKE sebetulnya domain dari kinerja ini yang dibayar APBD itu bisa di-split, bisa Joins dengan forum CSR.

“Misalnya di dalam TAKE ada 10 pemenang. 10 pemenang ini jika ADDnya masih ada ruang fiskal yang baik, yang luas bisa dikasi dengan kinerja ADD,” ujarnya.

“Tapi bayangkan kalau suatu daerah kebetulan ADDnya tipis, karena jumlah desanya banyak, tapi mereka punya formulasi TAKE dan ada penghargaan 10 pemenang, nah mereka bisa join dengan forum CSR supaya pemanfaatan CSR bisa menyasar pemenang,” tambah Joko.

Menurut Joko hal itu merupakan cara pandang atau horison cakrawala. “Secara birokrat kita terkadang terlalu fokus terhadap inovasi kebijakan, sehingga ketika kebijakan dihasilkan lupa untuk dikomunikasikan kepada publik. Padahal investasi masa depan adalah investasi jasa lingkungan,” tukasnya.