Dosen Hukum UII Klaim RUU Cipta Kerja Merugikan Kaum Pekerja
Berita Baru, Jakarta — Bersama dengan DPR, pemerintah tengah melakukan pembahasan mengenai RUU Cipta Kerja. RUU tersebut digadang-gadang akan jadi regulasi yang mempermudah jalannya jalannya kegiatan-kegiatan usaha untuk meningkatkan investasi, dan perluasan lapangan kerja.
Tumpang tindih aturan dan ketidakjelasan hukum pada berbagai UU diklaim menjadi persoalan utama yang menghambat laju investasi. RUU yang dibikin dengan mekanisme Omnibus Law dipandang sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan itu.
Pemerintah mengatakan RUU tersebut dalam rangka menambah akses lapangan kerja bagi masyarakat. Tetapi, rancangan undang-undangnya melahirkan polemik, karena dinilai politis, yakni untuk memuluskan iklim investasi yang berpotensi merusak lingkungan dan melanggar hak-hak buruh.
Abdul Jamil yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) memandang, bahwa ada beberapa bab krusial yang harus mendapat perhatian dari RUU Omnibus Law tersebut. Mulai dari aspek filosofis, hingga aspek sosiologis.
Dari aspek filosofis, spirit (ruh) di balik metode Omnibus Law dalam RUU Cipta Kerja, cuma untuk kepentingan investasi bukan dalam rangka harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan.
Sementara dari aspek sosiologis, Abdul Jamil mengemukakan bahwa sekarang masyarakat belum membutuhkan, terutama bila dikaitkan dengan isinya yang lebih mengedepankan kepentingan investasi/pemodal. Bahkan, dari aspek ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja berpotensi merugikan hak-hak pekerja.
Hal itu terlihat dari tidak dikenalnya upah minimum kabupaten dan kota atau upah sektoral, upah bergantung pada pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan (bukan berdasarkan inflasi), dan penghitungan upah dalam satuan waktu (jam).
“Ketentuan-ketentuan di atas akan merugikan pekerja karena penetapan upah minimum hanya di tingkat provinsi akan menimbulkan kecemburuan, terutama untuk provinsi yang pertumbuhan inflasinya berbeda antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya,” terang Abdul Jalil, mewakili civitas akademika FH UII.
Selain itu, bagi Abdul Jalil, RUU Cipta Kerja juga semakin menyuburkan sistem kontrak outsourcing dan perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Sebab RUU Cipta Kerja tidak mengatur pembatasan alih daya atau outsourcing dan kontrak.
RUU Cipta Kerja, bahkan bisa memuluskan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) karena tidak harus izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dari Pusat, termasuk jenis pekerjaan seperti vokasi, start-up, kunjungan bisnis, dan lainnya.
Menurut dia, seharusnya negara hadir melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui pembentukan undang-undang. Tetapi, RUU Cipta Kerja justru jauh dari itu, malah berpotensi melanggar hak-hak warga masyarakat yang dijamin oleh konstitusi.
“Untuk itulah, civitas akademika FH UII menuntut kepada Pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja,” tegasnya.
Dia menjelaskan sangat penting Pemerintah dan DPR menyempurnakan beberapa undang-undang sektoral, daripada menyusun undang-undang dengan menggunakan metode Omnibus Law yang belum terbukti keberhasilannya di negara lain, dan berpotensi merusak sistem perundang-undangan Indonesia.
“Kami tetap konsisten mengawal proses pembahasan RUU Cipta Kerja ini. Pun, jika RUU ini disahkan, sivitas akademika FH UII akan menempuh jalan konstitusional untuk menuntut pembatalannya,” pungkasnya.