Tertangkapnya Nurhadi Diharapkan Bisa Membuka Kasus Suap di Mahkamah Agung
Berita Baru, Jakarta — Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas memandang bahwa ditangkapnya mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi berikut dengan menantunya, Rezky Herbiyono menjadi jalan terbuka bagi pembuktian adanya suap di lembaga peradilan tertinggi.
Nurhadi dan Rezky ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (1/6/2020) malam. Mereka berdua sudah berstatus buron sejak Februari 2020.
“Tentu ini ada jalan terbuka untuk pembuktian adanya dugaan suap di lembaga peradilan tinggi seperti MA. Apalagi beliau (Nurhadi) dikenal cukup kontroversial selama ini dan dianggap aktor kunci untuk membuka praktik dimaksud,” kata peneliti PUSaKO Charles Simabura dalam laporan yang diterima Berita Baru, Selasa (2/6).
Dengan tertapkanya Nurhadi dan menantunya itu, Charles berharap kasus suap itu tidak hanya berhenti pada pengungkapan peran yang bersangkutan saja. Justru melalui keterangan tersangka, bisa menemukan bukti dan celah bagi KPK untuk mengungkap kasus-kasus lainnya.
“Mudah-mudahan ini menjadi menjadi kotak pandora yang bisa mengungkap kasus-kasus lain. Jadi tidak berhenti di kasus tersebut saja,” tambah Charles.
Selain itu, Charles juga meminta KPK membuktikan bila nantinya ada potensi-potensi keterlibatan hakim MA dalam kasus tersebut, mengingat kasus yang melibatkan Nurhadi merupakan bagian dari perkara di MA.
Sementara itu, di sisi lain, Charles mengapresiasi kerja KPK karena berhasil menangkap para tersangka tersebut. Menurut dia, hal itu merupakan sesuatu yang sudah ditunggu publik, apalagi di tengah merosotnya kepercayaan publik terhadap KPK.
Sebagai tambahan informasi, KPK sudah menetapkan Nurhadi, Rezky Herbiyono, dan Hiendra Soenjoto sebagai tersangka atas dugaan suap penanganan perkara pada 2015-2016 dan gratifikasi di MA.
Meski begitu, Nurhadi beserta menantunya, Rezky Herbiyono menghilang dan masuk sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 13 Februari 2020 setelah mangkir dari panggilan KPK.