Dikukuhkan sebagai Guru Besar, Ini Isi Orasi Ilmiah Mas Inung
Berita Baru, Surabaya – Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag. atau yang akrab disapa Mas Inung mendapatkan pengukuhan gelar profesor di bidang Ilmu Sosiologi Agama dalam Rapat Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya ke-74, 75, 76, dan 77, pada Kamis (10/2).
Dalam orasi ilmiahnya, Mas Inung menyampaikan bahwa agama adalah entitas yang sangat sulit dibunuh.
“Jika dalam film Die Hard, sampai episode ke-4 Bruce Wills itu tidak mati-mati kan ya, meski sudah dibunuh berkali-kali, namun jika untuk konteks agama, maka agama ini bisa jadi sudah sampai episode ke-1000 dan tidak kunjung mati juga,” jelasnya.
Pada sekitar tahun 1960 memang para Sosiolog meyakini bahwa umur agama tinggal sebentar lagi, tapi 10 tahun kemudian, seiring lahirnya buku dari Gilles Kepel The Revenge of God, pandangan mereka terbantahkan.
Pada kisaran 1970, agama justru menggeliat, memaksa bangkit. Hanya saja, kebangkitkan agama pada masa ini, tegas Mas Inung, memiliki wajah yang khas, yakni untuk melawan modernitas.
“Agama lagi-lagi gagal dibunuh dan justru muncul ke permukaan dengan cara berpikir yang literal, cara berkehidupan yang eksklusif, dan melawan sains,” ujarnya.
Kematian ulama
Di waktu bersamaan, Mas Inung melanjutkan, ada hal baru muncul, yakni hancurnya batas identitas, khususnya antara mereka yang pakar dalam satu bidang—ulama contohnya—dan mereka yang sebaliknya.
Pada satu sisi, leburnya batasan ini diakibatkan oleh adanya percepatan perkembangan teknologi informasi dan pada sisi lain berdampak pada terbukanya akses bagi siapa pun untuk bersuara.
Adanya akses berhasil memicu lahirnya pakar-pakar baru atau ulama baru yang pada dasarnya mereka tidak memiliki kualitas di dalamnya.
“Itulah kematian ulama. Di sini, ulama kita mati. mereka yang belajar di pesantren puluhan tahun, bisa kalah dengan mereka yang tidak pernah belajar agama tapi mau percaya diri dan aktif di media sosial,” tegas Mas Inung.
Ia menyebut fenomena ini sebagai era pascakebenaran atau post-truth, yaitu ketika yang tidak berkualitas dalam suatu bidang dianggap otoritatif, sedangkan yang berkualitas justru dicerca.
Dari sini, lanjutnya, yang penting untuk dilakukan adalah bagaimana kemudian seseorang bisa membaca fenomena tersebut dan lantas menentukan sikap.
“Jelasnya, hari ini soal ketokohan dan basis otoritas keagamaan, semuanya telah bergeser, sehingga kita harus jeli dalam melihatnya dan tegas dalam mengambil sikap,” pungkas Mas Inung.
Perlu diketahui, dalam Rapat Senat Terbuka Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya ini ada tiga (3) guru besar lain yang berhasil dikukuhkan.
Mereka adalah Prof. Dr. Hj. Wiwik Setiyani, M.Ag. sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Agama; Prof. Dr. Rubaidi, M.Ag. sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Tasawuf; dan Prof. Dr. Syamsul Huda, M.Fil. sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam.