Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Di Suatu Malam Padang Bulan | Puisi-Puisi Polanco S. Achri
Ilustrasi: Michelle Bond

Di Suatu Malam Padang Bulan | Puisi-Puisi Polanco S. Achri



Di Suatu Malam Padang Bulan:
Percakapan Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pamanahan

Selepas lama berdiam-terdiam, maka berkatalah
Ki Ageng Pamanahan; kepada Ki Ageng Giring ia mengatakan:
            Duh, Kangmas, bila memanglah menghendaki berkeras,
            supaya dapat miliki daulat takhta-kuasa, seperti nubuat
            wahyu degan kelapa muda, maka bagaimana bila putra
            dari Kangmas dan jua sahaya dinikah-kawainkan sahaja?

Mendengar ucapan Ki Ageng Pamanahan,
Ki Ageng Giring lantas menjawab-mengatakan:
            Kawin dan nikahkanlah anakmu dengan anakku, Adi Pamanahan;
            agar supaya kesepian dalam dadanya bisa sirna hilang lagi tiada,
            agar supaya anakmu bisa lengkap-genap menempuh jalannya—

Maka berkatalah Ki Ageng Pamanahan
dengan pelan tapi begitu dalam mendekam:
            Akan tetapi, duh, Kangmas, apa perkawinan dibuat-dicipta
            supaya obati dan hilangkan duka tersebab kesepian di dalam dada?
            Apa bukan supaya bisa menanggung bersama kesepian yang tiada bisa
            genap terbagi serupa segara, yang demikian dalam dan luas, Kangmas?

(2020—2021)

Di Sebuah Taman Kembang,
dan Sebuah Potongan Lakon-Cerita Purba

Gadis yang dititipkan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Pamanahan kini terdiam
memandang kembang-kembang—yang oleh Danang Sutawijaya ditanam-dibesarkan.
Amatlah nampak dari kedua mata yang berkilau bagai permata tanda kekagumannya;
dan tiada disadarinya pemilik taman pun datang lantas ajukan pendek pertanyaan:
            Bukankah kembang-kembang amatlah indah dipandang?

Yang ditanya hanya mengangguk dan masih sahaja terdiam—sambil malu tertunduk,
layaknya seorang pencuri yang ketahuan mencuri. Sutawijaya pun mendekatinya, dan
sampaikan potongan dari lakon-cerita yang cukup disukainya: Adam dan juga Hawa.

            Di taman kembang berwarna-wangi-beraroma, ada sebuah lakon-cerita purba;
            bila dirimu ingin menjadi Hawa, maka diri ini akan suka rela menjadi Adamnya,
            tapi tiada bisakah diriku dan jua dirimu menjadi teman yang bergandeng tangan?

Yang ditanya balik bertanya—seolah tiada dianggap barusan sebagai tanya:
             Mengapa Tuan senang menanam kembang berwarna-indah beraroma?

Adapun Sutawijaya segera berkata supaya tiada memanggil dirinya dengan “Tuan”—
atau sejenisnya; sebab dirinya pun sudah berkata ingin menjadi seorang kawan. Lalu,
dikatakanlah pula alasan apa sahaja yang menjadi mula ditanam kembang beraroma;
tiada lain supaya tiada dipetik kembang di jalan untuk dinikmati indah dan aromanya,
supaya bisa senantiasa memandang kapan pun, dan tiada rusak apa yang disukainya.

Yang sedari tandi ditanyai kini sampaikan apa yang jadi gelisah hatinya:
            Apabila masanya telah datang-tiba, maka sahaya akan tinggalkan apa-apa
            yang kini sedap dipandang dan harum dicium; tinggalkan indah ini taman
            dan hidup di dalam keraton Pajang dan jadilah diri ini sebagai selir Sultan.

Angin berembus membawa aroma wangi kembang-kembang; ada serangga yang
hinggap—hendak menonton sebuah pertunjukan lakon-cerita yang mempesona.
Sehelai daun, entah dari pohon apa dan dari pohon yang mana, gugur dan jadilah
tanda. Maka, berkatalah Sutawijaya pada gadis yang kian lama mempesonanya:

            Tinggallah di sini sahaja; nikmatilah dan temanilah diri ini memandang
            segala kembang yang tumbuh ditanam. Adapun yang bisa berkata pulang
            ialah bila didapatinya sebuah rumah yang di dalamnya ada yang menantinya;
            dan bukankah di sini dirimu memiliki rumah dan orang yang menantikanmu?

Ayahanda Sutawijaya, Ki Pamanahan bernama, dapati apa-apa yang terjadi
dan entah esok atau lusa akan dibawanya anak lelaki menuju Sultan Hadiwijaya
guna meminta supaya berkenan kiranya gadis pingitan Baginda untuk anaknya.

(2019—2020)

Laporan Selepas Datang-Kunjungi Panembahan Senopati di Mataram

Berkatalah Pangeran Banawa:
            Ayahanda Baginda, adapun yang sahaya dapati kala datangi Kangmas Senopati
            ialah rasa hormat dan kebaikan hati; begitu dimuliakannya orang-orang Pajang
            yang ramai datang-bertandang guna menanyakan nasib dan juga kabar keadaan.

Lalu, berkatalah Adipati Tuban dan Tumenggung Mancanegara:
            Adalah benar bahwasanya Senopati hendak berontak, hendak gulingkan Pajang
            dan satukan kekuatan guna serang serentak. Adapun tandanya ialah telah dibangun
            benteng dengan tekun juga parit yang akan menjepit; ditambah, disombongkannya
            sakti-digdaya—dengan tunjuk sang putra, Raden Rangga, guna menimpuk
dari Tuban hingga hancur kepalanya, dan jelas meninggal seketika.

Di dalam ruangan yang sepi, Sultan Hadiwijaya bertanya-tanya setelah semua pergi:

         Tiada mungkin Senopati berani kepada diri ini, kepada Ayahandanya ini, sebab
            sudah sejak kanak kuasuh seperti anak lelaki sendiri; segala ilmu-kepintaran
            serta digdaya kebatinan sudah genap diturunkan, ditambah pula setelah dewasa
            diberi kediaman di Mataram. Akan tetapi, benarlah pula laporan yang kedua:
            sebab ramalan daripada Sunan Giri di kala datang kemari. Lalu, bagaimana ini?

Seekor ular pun datang menghampiri Sultan Pajang; Sang Sultan segera paham
bahwa tiada ular biasa yang mampu tembus dinding kasat mata yang dibuatnya.
Berkatalah sang ular kepada Sultan Hadiwijaya:

            Ampunilah sahaya yang hanya makhluk melata, duhai, Sultan Pajang yang
            amatlah masyhur kuasa-digdaya dan bernama, sebab datang dengan tiba-tiba
            dan dirasa tiada punya apa yang dinama dengan tatakrama menghadap raja.
            Adapun maksud kedatangan dari diri sahaya ialah hendak sampaikan apa
yang terjadi di Mataram tempat Panembahan Senopati bertakhta.   
            Adipati Tuban ajak adu kekuatan; tiada dibalas Raden Rangga, putra Senopati,
            dan dibiarkan utusan Adipati Tuban serang seluruh badan. Dipaksalah untuk
            berikan balasan, dan hanya diajukan sebuah pertanyaan:

Bisakah manusia mengubah takdir-nasibnya?
Maka peninglah kepala yang ditanya, lalu tiada sadarkan diri begutu lamanya.
            Pulanglah segera orang-orang yang tadi ramai datang—turut dirasa bimbang
            atas tanya yang diajukan. Tiada yang mati; hanya pingsan-kebingungan. Lalu
            dimarahilah anak oleh ayahandanya, tapi itulah bukti cinta. Begitulah yang
            hendak sahaya sampaikan kepada Sultan Baginda.

Sultan Hadiwijaya pun terdiam cukup lama, dan sesudahnya dikatakannya:
            Oh, Ular yang lidahnya bercabang, tiada pula diri ini ketahui: mesti percaya
            ataukah sebaliknya; tapi, memanglah nyata bahwasanya, di suatu masa—
            entah lama atau segera—akan datang warta daripada Gusti yang Mahasunyi.
            Apabila ditakdirkan berganti oleh Gusti yang Mahasunyi siapa pula yang
            bisa kehendaki agar tiada berganti? Mereka senang sekali berkata bahwa ini
            hanya setitik api, dan meminta lekas dipadami. Apabila dikehendai Gusti
            sudahlah pasti yang setitik lekas menjalar, atau kamilah yang dikerdilkan.

(2019—2020)

Di Dekat Candi Prambanan

Di sini, di dekat perbatasan yang tiada mampu batasi pertanyaan, berdirilah kini
berdekatan dengan megah tatanan indah candi-candi. Berdiri-sendiri-menanti:
menatap ke arah kejauhan arah di mana pasukan Pajang akan datang menyerang,
sebab dirasa bahwa seorang yang tiada lekas datang-sowan amat meresahkan.
            Adapun sahaya, datang seorang diri sahaja, sebab ingin katakan bahwa
selama masa satu tahun yang diberikan, sahaya gunakan untuk banyak membaca
catatan dan gubahan daripada para pujangga—yang baharu maupun yang purba.
Sahaya jua lama terdiam di masjid, tetapi kekuasaan dan segala pengikutnya
amatlah berisik; hingga amatlah sulit dengarkan Gusti yang Mahasunyi.

Amatlah mungkin, kedatangan sahaya yang seorang diri ini
            akan ditafsirkan, entah oleh siapa, sebagai sebuah keberanian
            yang mengerikan—juga barangkali, sebuah pemberontakan!

Di sini, di hadapan candi-candi Trimurti yang ditemani sekalian setia abdi
jua masing-masing sakti, sahaya harapkan Ayahanda angkat Sultan Hadiwijaya
berkenan dan tiada termakan tafsiran entah siapa. Amatlah baik budi juga
besar kasih sayangnya pada sahaya; diberinya tanah juga biarkan putri pingitan
menjadi simah. Maka hendak sahaya perjelas yang selama ini amat penuh bias.

Akan tetapi, mengapa ada bumi yang bergoncang, ada siang yang kehilangan
terang, ada bunyi gunung meletus yang bawa pasir jua bebatu? Lalu, mengapa
ada yang menafsirkan semua-segala ialah tanda bahwa sahaya mesti menjadi
seorang raja-penguasa di tanah Jawa? Aduh! lihatlah pasukan itu pulang
            tiada jadi datang; dan akan banyak yang katakan: Danang Sutawijaya,
yang digelari Panembahan Senopati, pukul mundur pasukan Pajang seorang sendiri.

Inikah yang dituliskan di lakon-cerita
            selain dialog-bicara para tokohnya? Oh,
            nasib, genaplah sudah segala keganjilan:

Aku akan pulang; dan, akan kuterima segala gubahan! Oh, Mataram,
apa benar darimu, dari rahim yang diasuh kesepian dan kesendirian,
akan lahir pujangga-pujangga yang teramat waskita? Semoga sahaja,
Gusti yang Mahasunyi berkenan memberi pujangga tanpa nama—yang
menurut ramalan purba mampu gubah lakon-cerita yang bisa bebaskan
tokoh-tokohnya dari segala derita dan kerumitan juga segala tanya?

(2019)

Dalam Perjalanan Pulang ke Pajang

Pangeran Banawa dapati Panembahan Senopati dari belakang mengikuti;
dimintalah kepada Ayahanda baginda, Sultan Hadiwijaya, supaya boleh dirinya
halau atau bila perlu kiranya lakukan lawan-tanding sekarang juga. Akan tetapi,
dijawablah oleh Sultan Hadiwijaya yang kian mulia budi-pekertinya dengan:
            Ananda putra, Pangeran Banawa, janganlah dirimu berani menghadapi
            Kangmasmu Senopati; lagipula dirinya hanya mengikuti seorang diri.
            Adalah kelak, seorang anak, yang tiada lain dirinya yang gantikan aku;
            anak itu menyusul, tiada lain sebab rindu yang belum genap terkabul.
            Adapun, itu ialah bukti, bahwa amatlah dicintainya aku: Ayahandanya.

Pangeran Banawa yang dengarkan sabda Ayahandanya pun tertunduk dalam;
teringat masa kanak yang sering sekali ditemani kangmasnya
yang tiada lain Danang Sutawijaya yang kini bergelar Panembahan Senopati.
Maka, berkatalah kembali Sultan Hadiwijaya pada putranya:
            Juga, rukun-rukunlah dengan Kangmasmu itu, Ananda putraku,
            Pangeran Banawa, bermainlah seperti dahulu kala di taman yang
            amat sederhana itu; di mana dirimu, selalu meminta kepadanya
            untuk dikisahkan kisah dewa-dewi dan juga kisah para nabi-nabi.

(2019—2020)

Di Makam Tembayat

Selepas kejadian yang membingungkan, Sultan Hadiwijaya memutuskan pulang;
dan di dekat makam leluhur diputuskan Sultan berziarah-bermalam. Akan tetapi,
tiada bisa pintu dibuka dan segera sahaja menjadi risau hati dari Sultan Baginda.

+    Juru kunci yang pandai menanti, apakah yang sebenarnya terjadi
       dan mengapa tiada bisa pintu dibuka oleh diriku ini?

–    Oh, Kanjeng Sultan yang berkuasa di Pajang, tiada sahaya ketahui pasti
     apa yang sebenarnya terjadi kini; meski ada sahaja yang nanti katakan
     bahwa sudah habis masa berkuasa Sultan; tetapi, bila boleh berkata diri
     tentang apa yang terjadi, maka tiada lain supaya Kanjeng Sultan ziarahi
     dahulu diri sendiri, menilik kembali segala yang sudah dilalui—dan jua
     syukur-syukur bila menilik apa-apa yang nantinya akan segera dialami.

Maka, itu malam, terlelaplah Sultan Pajang teramat tenang—setelah lama terjaga
bersama kenangan dan renungan. Para pengawal sibuk berjaga, meski nyatanya
tiada bisa lindungi sang raja dari mimpinya. Dalam mimpi panjang yang dipenuhi
dengan kenangan, ada adegan-adegan yang dirasakan oleh Sultan Hadiwijaya
teramat membekas di hatinya: Asuh seorang anak lelaki yang kini dinamai lagi
dengan nama Panembahan Senopati; seorang anak yang suka sekali bertanya:
            Ayahanda, mengapa manusia tiada bisa terbang di luas angkasa?

Sepulang dari makam, Sultan menaiki gajahnya dan dalam perjalanan pulang
 takdir memintanya jatuh—sebagai penggenap untuk lakon-cerita selanjutnya.

(2019—2020)

Adegan di Dusun Mayang

Panembahan Senopati berhenti, dan disusullah dirinya oleh pengikut yang berbakti;
berhentilah mereka semua di Dusun Mayang sebelah barat daripada Istana Pajang.
Sultan Hadiwijaya, yang juga Ayahanda angkatnya, sudah ketahui; maka dipintalah
utusan guna sampaikan: Sultan Hadiwijaya ingin sekali bertemu dengan Senopati.

Berkatalah Panembahan Senopati kepada utusan:

            Biarlah sahaya duduk-menanti di sini, Utusan, supaya bila malaikat maut
            atau sejenisnya datang menjemput, akan sahaya pinta supaya tiada kasar jua
            menyakitkan kala menarik roh-jiwa daripada Sultan Hadiwijaya Ayahanda.
            Sahaya tiada mau Ayahanda sakit-terluka; sebab dirinyalah yang ajari sahaya,
            dan asuh dari kanak-belia hingga menjadi seorang pria dewasa yang bernama.

Utusan pun mohon izin kembali, dan disampaikanlah kepada Sultan apa yang terjadi.
Tersenyumlah Sultan Hadiwijaya—terlebih setelah diketahuinya ada sebuah warta
yang berkata bahwasanya di depan pintu-pintu kedaton dipenuhi kembang Telasih—
tanda cinta-kasih. Sultan telah tahu bahwa lakon-ceritanya sudah mesti segera berlalu.

(2019—2020)

Sebuah Sengkalan: Catur Gana Hanibeng Bhumi

Ayahanda angkat, Sultan Hadiwijaya, yang tiada sedikitpun beda
dengan Ayahanda sendiri kini sudah pergi. Ada warta yang berkata bahwa
yang menjadi awal-mula ialah sebab jatuh daripada gajah tunggangan kala
hendak pulang dari penyerangan yang digagalkan oleh alam; tetapi angin
berikan warta bahwa Sultan Hadiwijaya Ayahanda amatlah risau hatinya:
hadapi lakon-cerita yang teramat rumit juga sulit, dan berikan gelisah jiwa.

            : Oh! maka letakkanlah kembang-kembang telasih
            di tiap-tiap pintu Keraton Pajang, sebagai bukti kasih.

Dan tiada lama, Pangeran Benawa mendatangi sahaya—yang masih sahaja
rajin merenung dan memikirkan kematian jua derita. Dikatakannya
dengan amat, bahwa Sunan Kudus sudah berikan putus kalau yang jadi
Sultan Pajang, yang baharu, ialah menantu Sultan Hadiwijaya;
bernama Arya Pangiri, yang kuasai Demak kini bertahta Kasultanan Pajang.

Dikatakannya pula, bahwa dirinya yang anak kandung raja, malah
hanya berkuasa di tanah Jipang sahaja. Rakyat, tambahnya, pun dirinya
berkata tiada mampu terima; dan dimintalah sahaya yang semestinya jadi
pengganti bagi Sultan Hadiwijaya Ayahanda.

            : Oh! lakon-cerita sudah dimulai, babak dari kerajaan bergantian;
            jadi, mari genapi sahaja, keganjilan demi keganjilan ini, nasibku.

Pangeran Benawa yang putra kandung Sultan Hadiwijaya, segera
tawarkan kepada sahaya, yang putra angkat daripada Ayahandanya,
untuk membawa seluruh pasukan gabungan menyerang ke Pajang.

: Tiada perlu; temanilah sahaja sahaya ini, Pangeran Benawa,
 akan kita katakan bahwa rakyat tiada rela jua sudah satu suara.

Mereka yang datang tenang akan diterima dengan tenang. Sesampainya
di Pajang, segera bekerja apa yang tertulis di lakon-cerita; dan genaplah
adegan demi adegan di babak mula-mula. Rakyat ialah penonton, tetapi
telah bersuara, memenuhi panggung yang sempit, dan nyatakan pinta:
            Berikanlah kuasa pada Panembahan Senopati ing Ngalaga!

(2019)

Sebuah Adegan yang Selalu Didramatisir Entah oleh Siapa

Senopati kembali berkata kepada hadirin yang datang menyaksikan:
            Yang dari Demak kembalilah ke Demak; yang dari Pajang
            kembalilah ke Pajang; dan diriku, yang dari Mataram akan
            kembali ke Mataram. Begitulah putusan yang diberikan.

Semua terkagum, dan berikah hormat lantas segera angkat setia kepada
Panembahan Senopati ing Ngalaga; sebagai bukti penuhi wasiat-amanat
maka dibawa-dipindahkanlah pusaka jua tulisan-sastra ke Mataram sana.

(2019—2020)


Di Suatu Malam Padang Bulan | Puisi-Puisi Polanco S. Achri

Polanco S. Achri lahir dan tinggal di Yogyakarta. Seorang lulusan jurusan sastra dan kini menjadi seorang pengajar bahasa di sebuah sekolah menengah kejurusan di Sleman. Menulis sajak dan prosa-fiksi, serta esai pendek. Beberapa tulisannya tersiar di beberapa media, baik cetak maupun daring. Dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau di Instagram: polanco_achri.