Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

DEMA FUPI UIN SUKA Gelar Bedah Buku "JI UntoldStory”

DEMA FUPI UIN SUKA Gelar Bedah Buku “JI UntoldStory”



Berita Baru, Yogyakarta — Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga menggelar acara bedah buku JI Untold Story: Perjalanan Kisah Jamaah Islamiyah, karya Irjen Pol. Sentot Prasetyo, S.I.K., Kepala Densus 88 Anti Teror. Acara yang berlangsung di ruang Teatrikal FUPI ini dihadiri ratusan mahasiswa serta sivitas akademika yang antusias menggali dinamika radikalisme dan strategi deradikalisasi di Indonesia.

Diskusi ini membuka perspektif baru terhadap fenomena pembubaran Jamaah Islamiyah (JI) pada tahun 2024, yang dianggap sebagai momentum luar biasa dalam sejarah kontra-terorisme di Tanah Air. Khoirul Anam menegaskan bahwa pembubaran JI yang dilakukan secara sukarela, tanpa tekanan atau paksaan dari aparat, adalah peristiwa langka yang harus dipahami secara objektif dan bukan sekadar dijadikan bahan kritik atau prasangka negatif. “Pembubaran JI ini adalah sebuah sinyal bahwa perubahan besar sedang terjadi, dan kita perlu melihatnya sebagai peluang, bukan beban,” ujar Khoirul dengan tegas.

Memperkaya diskusi, Pak Munawar membawa narasi yang lebih dalam terkait aspek psikologis dan ilmiah dalam memahami radikalisme. Ia menyampaikan bahwa untuk membaca fenomena terorisme dan radikalisme, tidak cukup hanya menggunakan pendekatan sosiologis atau politis. Ada kebutuhan mendesak untuk mengkaji dari sisi neurologi dan ilmu saraf — sebuah pendekatan yang sedang dikembangkan bersama Ustadz Hamzah dalam teori Neo-Radikalisme. “Radikalisme, pada intinya, adalah pencarian kesucian diri secara ekstrem yang menggerakkan seseorang sampai ke batas-batas berbahaya,” jelas Pak Munawar. Ia meyakini, pendekatan berbasis neuroscience ini dapat membuka pintu baru dalam upaya pencegahan dan rehabilitasi para pelaku radikal.

Menjawab rasa penasaran audiens tentang kesungguhan JI dalam pembubaran diri, Solahudin memaparkan tiga indikator utama yang harus dipenuhi organisasi untuk dianggap benar-benar mengalami transformasi. Pertama, perubahan ideologi yang meninggalkan kekerasan dan intoleransi; kedua, perubahan perilaku nyata yang menghindari tindakan kekerasan; dan ketiga, restrukturisasi organisasi yang transparan dan terbuka. “Dari ketiga indikator itu, JI sudah menunjukkan komitmen kuat untuk berubah. Bahkan transformasi ini sudah sampai ke kurikulum pesantren yang berafiliasi, menunjukkan bahwa perubahan tidak hanya di permukaan,” ujar Solahudin optimis. Ia juga menegaskan bahwa potensi kegagalan transformasi sangat kecil karena perubahan dilakukan secara menyeluruh dan bertahap.

Ustadz Para Wijayanto memberikan gambaran reflektif tentang perjalanan panjang JI hingga mencapai titik kesadaran untuk membubarkan diri. Ia memaparkan empat titik balik kritis yang menggugah kesadaran kolektif organisasi tersebut: praktik ghuluw atau ekstrem dalam mengkafirkan pihak lain, seperti anggapan Indonesia sebagai thagut dan aparatnya kafir; kejahatan teror yang menimbulkan korban jiwa dan luka parah; radikalisme yang ingin menerapkan hukum syariat secara kaffah tanpa kompromi; dan kekerasan brutal sebagai simbol eksistensi organisasi, termasuk aksi mutilasi di Poso. “Kesadaran bahwa perilaku seperti ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi merupakan titik awal pembubaran JI,” tegas Ustadz Para. Dari titik ini, lahirlah konsep At-Tathoruf, yang mengkaji ulang batas minimal dan maksimal penerapan negara Islam, dengan kesimpulan bahwa Indonesia masih dalam batas minimal dan tidak seharusnya dipaksakan perubahan radikal.

Diskusi yang berlangsung hangat ini tidak hanya menyajikan narasi akademis dan empiris, tetapi juga membuka ruang refleksi bagi mahasiswa untuk memahami kompleksitas deradikalisasi yang tidak bisa dipandang sebagai masalah hitam-putih. Pendekatan humanis dan dialogis yang dijalankan Densus 88 dan mitra terkait menjadi sorotan penting sebagai model deradikalisasi yang berkelanjutan dan berwawasan kemanusiaan.

Ratusan mahasiswa yang hadir menunjukkan antusiasme tinggi, banyak yang aktif bertanya dan berdiskusi hingga sesi akhir. Momentum bedah buku ini diharapkan menjadi titik awal bagi pengembangan literasi kritis dan pemahaman lebih mendalam tentang upaya deradikalisasi di Indonesia, khususnya dalam konteks perubahan organisasi radikal seperti JI.