Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

David

David K. Alka, Kesahajaan Buya Syafii, dan Masa Depan Maarif Institute



Berita Baru, Tokoh – Perginya Ahmad Syafii Maarif atau yang akrab dipanggil Buya Syafii menyisakan beragam duka di Indonesia. 

Sosok guru bangsa tersebut meninggalkan Indonesia dan dunia untuk selamanya pada Jumat, 27 Mei 2022, tepat 4 hari sebelum ulang tahunnya ke-87. 

Salah satu murid sekaligus peneliti senior di Maarif Institute David Krisna Alka mengatakan, teman-teman di Maarif Institute sudah menyiapkan kado istimewa untuk Buya Syafii di hari ulang tahunnya, tapi kehendak kuasa berkata lain. 

“Kami sudah ada kado khusus buat Buya untuk hari ini, namun takdir punya jalannya sendiri,” kata David dalam gelar wicara Bercerita ke-99 Beritabaru.co pada Selasa (31/5). 

Kesedihan tampak menyelubungi raut David ketika menghadiri diskusi yang ditemani oleh Novita Kristiani, host Beritabaru.co. Meski demikian, ia tetap berupaya untuk mengingat apa saja kenangan yang pernah ia rajut bersama Buya selama di Maarif Institute dan membaginya dalam diskusi. 

Dalam hubungannya dengan Pancasila, bagi David menanyakan bagaimana pandangan Buya terkait Pancasila pada dasarnya kurang pas sebab Buya adalah Pancasila itu sendiri. 

Keseharian Buya Syafii tidak lain merupakan cerminan dari Pancasila. David memaparkan dua (2) hal untuk menjelaskan ini. 

Pertama, Buya adalah pribadi yang suka kesederhanaan. Meski banyak pihak segan padanya, Buya tetap merasa, dirinya bukanlah siapa pun yang berhak atas segala bentuk privilese. 

Pernah suatu hari, David melanjutkan, teman-teman Maarif Institute memberinya sebuah buku, kumpulan dari tulisan-tulisan tokoh nasional—baik intelektual atau pun politik—tentang Buya, sebagai hadiah ulang tahun.

Mendapati itu, Buya berterima kasih tentu, tapi respons pertama yang muncul adalah bahwa hadiah seperti ini berlebihan. “Buya merasa bahwa dirinya itu siapa kok sampai ditulis menjadi satu judul buku. Pun oleh tokoh-tokoh nasional,” ungkap David. 

“Dari sini, saya dan teman-teman tahu, betapa Buya adalah pribadi yang begitu rendah hati,” lanjutnya. 

Kerendahan hati Buya tampak pula dari betapa Buya sebetulnya lebih suka dipanggil “bung” ketimbang “buya”. Di benak Buya, “bung” lebih egaliter. 

“Jika kita tahu, Buya itu lebih suka disapa sebagai bung daripada buya. Biar tidak ada sekat antara junior-senior, seperti para founding father dulu. Bung Hatta, Bung Karno, dan lainnya,” papar David. 

Beberapa sumber lain bahkan mengatakan, Buya pernah terlihat ikut antre dengan khusyuk di salah satu Rumah Sakit Pembinaan Kesejahteraan Umat (RS PKU) Muhammadiyah di Yogyakarta. 

Buya Syafii adalah pihak yang turut membesarkan PKU Muhammadiyah. Ia pasti memiliki privilese untuk tidak antre, tapi yang terjadi: Buya memilih mengabaikan itu dan antre bersama warga yang lain. 

Kedua, Buya begitu geram pada elite politik yang begitu jauh dan tercerabut dari Pancasila, khususnya sila ke-5. 

Buya memiliki sebutan sendiri bagi elite politik yang sedemikian itu, yakni politisi ikan lele. Ikan lele, ungkap David suka berada di air keruh, yang kendati begitu, mereka tetap saja saling berebut makanan. 

“Istilah yang digunakan Buya menarik ya. Politisi ikan lele misalnya. Istilah ini mengacu pada para elite politik yang tidak mencerminkan sama sekali Pancasila, khususnya sila ke-5,” jelas David. 

Poinnya, Buya Syafii meyakini Pancasila hingga hari ini masih berada di langit, utamanya sila ke-5, dan untuk menurunkan itu ke bumi, para elite politik penting sama sekali menjadikan Pancasila sebagai laku, bukan sekadar jargon. 

Masa depan Maarif Institute

Dalam diskusi bertajuk Pancasila dan Buya Syafii Maarif ini, David juga menyampaikan bahwa kerja utama Maarif Institute adalah membumikan Pancasila. 

Nilai-nilai yang menjadi jangkar Maarif Institute, ungkapnya, tidak lain adalah Pancasila, sehingga pergerakan dan programnya melekat dengan visi Pancasila. 

Ia memberi contoh Maarif Award. Program ini mengacu pada upaya Maarif Institute mencari tokoh-tokoh lokal yang memiliki kesahajaan, pemikiran, dan visi seperti Buya Syafii Maarif. 

Program ini telah melahirkan beberapa tokoh lokal yang dianggap kompeten dan potensial layaknya Buya. “Kami menjaringnya dari berbagai wilayah di Nusantara,” kata David. 

Menurut David, adanya Maarif Institute merupakan sebentuk upaya guna membumikan dan menjaga pemikiran-pemikiran Buya Syafii Maarif agar tetap lestari. 

Meski Maarif Institute sudah kehilangan payungnya, tegas David, kalangan mudanya berkomitmen untuk selalu mengamalkan pesan-pesan Buya. Buya meninggalkan warisan berupa pesan-pesan penting, seperti hindari merengek, belajar kuat, kuatkan belajar, berani, jaga integritas, membaca, menulis, perluas pergaulan, dan sebagainya.