Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Dari Cavinton Menuju Lancashire | Cerpen: Dody Widianto
Ilustrasi: 4nim4tion_suspendid

Dari Cavinton Menuju Lancashire | Cerpen: Dody Widianto



Setelah kuterima kabar dari kantor kedutaan, berjalan keluar dari Cavinton, dalam rasa tidak karuan harus percaya atau tidak pada hal itu, aku menyeret langkah keluar menuju lobi parkir hotel. Gegas kutatap layar ponsel. Taksi pesanan datang lima menit lagi. Sekarang aku percaya bagaimana Einstein pernah berkata jika yang paling relatif di dunia ini hanyalah waktu. Lima menit seakan terus melambat pada objek yang konstan. Aku tahu Tuhan mencipta semesta ini dalam tujuh ruang waktu. Sekarang aku percaya jika ahli Fisika itu mungkin lebih paham bagaimana Tuhan mencipta partikel-partikel cinta yang dilekatkan dalam semua elemen energi semesta dalam kenisbian.

“Sayang, bulan depan musim dingin. Danaku sedang menipis. Taman tulip di Keukenhof juga mungkin belum berbunga. Kita jalan-jalan yang dekat saja. Kuajak kau ke Travalgar jika tesisku selesai. Kebetulan aku juga bekerja di sini. Aku ingin membalas budi baikmu ketika itu. Aku yang akan membayar semuanya. Semoga krisis di sini tak berimbas ke sana.”

Itu pesan yang pernah kuterima melintasi dua benua. Kutelan ludah. Pahit. Tenggorokan tetiba nyeri. Ada satu hal yang terus membuatku khawatir setelah kabar krisis melanda beberapa negara Eropa. Semua negara punya kepentingan masing-masing setelah kebijakan Britania Raya beralih ke energi ramah lingkungan. Nyatanya, kebijakan dadakan itu membuat rakyat harus menderita. Harga kebutuhan pokok jadi melambung tinggi. Aku masih ingat di nusantara pernah merasakan hal yang sama. Tahun 1997 adalah masa-masa sulit ketika umurku masih di angka tujuh. Indonesia mengalami krisis. Tetiba majalah anak-anak yang bapak berikan padaku menipis jumlah halamannya dengan harga sama.

Kupandangi layar ponsel sekali lagi. Taksi pesanan belum juga datang. Kepalaku menggeleng pelan. Waktu seakan terus melambat.

Tiiin!

Tubuhku tersentak. Lamunan buyar. Di depanku, kaca depan mobil sebelah kiri terbuka. Sopir mengangguk sopan dan halus menyapa namaku. Aku gegas membuka pintu tengah mobil minibus warna silver itu lalu dengan cepat mengucapkan bandara. Dari Cavinton, butuh satu jam delapan belas menit lebih ke bandara. Namun, sekali lagi sungguh benar kata Eintein, waktu selalu relatif jika dilihat dari kerangka acuan yang berbeda.

Sopir perlahan melihat kaca spion tengah. Melihat raut wajahku tampak murung dan cemas. Namun, ia diam saja. Aku pelan merebah, melekatkan kepala pada bantalan kursi penumpang, meluruskan kaki. Kulihat jam tangan dan masih ada 4.620detik lebih tersisa sampai ke sana. Aku masih berusaha menelepon teman baiknya jika benar kabar itu terbukti. Namun, sampai sekarang belum ada jawaban. Hanya mendengar kabar keluarganya juga segera menyusul setelah mendapat informasi dari kedutaan London.

Sebetulnya ada sedikit embun di sudut mata. Namun, kau pernah bilang jika yang paling kuat di dunia ini selain waktu hanyalah rindu. Maka, hari ini ingin aku buktikan teori barumu itu.

“Kau pasti paham hukum aksi reaksi Newton. Setelah mempelajari kaitannya dengan hukum alam dan hukum karma dari sebuah buku sejarah, aku rasa yang terjadi di sini mirip sekali dengan teori itu. Tak masalah jika kau katakan aku sedang membual dan membuat argumen yang aneh-aneh, tetapi dari murid anak sekolah yang kelaparan di sini hingga makan karet penghapus, sudah cukup bukti bagaimana hukum semesta berbalas ketika enam negara Eropa pernah menjajah negeri kita. Rakyat kekurangan pangan dan sandang, makan gedebok pisang dan bekatul. Makanan yang kita gunakan untuk pakan bebek dan ayam itu dimakan manusia. Bisa kau bayangkan bukan? Dari sini kita paham jika sebuah energi digunakan untuk menekan ke sebuah benda, maka energi yang sama juga akan dilepaskan melawan gaya utama tadi dalam arah saling tolak menolak. Ini seperti bunyi kekekalan hukum karma jika siapa yang berbuat, maka dengan sendirinya semesta akan membalas. Siapa yang menjajah, ia akan menerima akibatnya entah dari mana mulanya. Hahaha, maafkan ucapanku ini jika terlalu membuatmu pusing. Aku juga tak ingin mengajarimu menaruh dendam. Toh, kamu juga guru Matematika di sekolah. Pasti banyak teori dan rumus-rumus aneh yang kau ajarkan pada anak didikmu walau kadang setelah kita dewasa, kita paham tidak semua rumus itu kita gunakan di kehidupan nyata. Murid-murid di negara kita selalu ditekankan untuk bisa menguasai semua mata pelajaran. Aneh menurutku. Negara-negara Skandinavia berhasil memajukan pendidikan dengan acuan bahwa setiap anak terlahir unik dan tentu punya bakat masing-masing yang berbeda dari lainnya.”

Penjelasanmu membuat dahiku berkerut. Aku jadi ingat seorang guru pernah mengatakan Budi bodoh karena tak pandai berhitung, mungkin anggap saja kurang pandai agar terlihat sopan. Namun, muridku itu dipuji guru keseniannya karena begitu pandai menggambar abstrak aliran Picasso jauh melebihi teman-temannya. Rin terlalu pendiam dan ia tak pernah bisa bersosialisasi. Muridku yang selalu murung itu tak pandai dalam melukis. Namun, ia jago panjat tebing saat jam olahraga dan ia selalu mendapat nilai terbaik saat pelajaran mengarang Bahasa Indonesia. Ia lihai menderetkan kata-kata magis penuh metafora yang membuat mata gurunya menyala. Bukankah manusia memang harus berusaha mampu menguasai dan memahami segalanya? Kau malah bilang padaku dengan tegas, serakah. Kau terus tertawa setelahnya.

“Dalam cinta, dua benda bermuatan sama tentu akan dipertemukan dalam ruang waktu yang konstan. Menurutmu apa yang akan terjadi jika kedua benda itu bergesekan dalam percepatan yang berbeda?”

“Yang terjadi aku akan mencintaimu selamanya.”

Lengkung bibirku terangkat tipis. Sial. Bagaimana mungkin soal Fisika dariku kaujawab dengan materi cinta. Lebay.

Bibirmu masih menyisakan senyum ketika tiba-tiba kau mengajakku beranjak dari restoran Shambala yang merupakan bagian dari Cavinton. Seusai makan siang, kau menggandeng tanganku dan duduk manis di depan panggung dengan satu orang perempuan sedang membawakan lagu manis Dream of Me milik Mac dan Katie Kissoon. Ia sedang mencari teman duet. Kau meledekku karena tak mau menyanyi bersamamu. Kuakui suaraku jelek. Nanti pengunjung bisa bubar. Sejujurnya aku cemburu, tetapi kuusahakan memelankan detak jantung dan menarik napas dalam-dalam. Aku tak ingin satu hal menyindir keluar dari bibir manis dengan lesung pipi yang selalu membuatku rindu itu. Bilang kalau manusia harus mampu dan menguasai semuanya tetapi kenapa aku tak bisa bernyanyi? Sialan. Kau memang punya celah meledekku. Aku nyengir masam. Kupesan dua minuman koktail buah pada pelayan ketika dudukku sebetulnya tak nyaman.

Gambaran kenangan di hotel Cavinton itu buyar ketika dering ponselku di tas terdengar nyaring. Jika saja waktu bisa kuulang berkali-kali, tentu akan kubuat lagi acara seminar di sana dan kita akan bertemu untuk kedua kalinya. Gegas kutempelkan benda pipih kehitaman itu di telinga dan sebuah kabar melintasi dua benua terdengar.

“Aku Ron, teman dekat Pras. Mohon maaf Mba Sas, Pras masih koma. Kedutaan dan beberapa pengacara sudah didatangkan. Ada yang janggal dengan kematian dua rekan sesama karyawan.”

“Janggal?”

“Mohon maaf Mba Sas, ini kewenangan penyidik. Saya tak bisa membukanya. Semoga Mba Sas bisa cepat datang ke sini.”

Telepon dari sana ditutup. Ada irama degup jantung yang makin menderu. Jika aku tak bisa mengejar waktu, sudah kupastikan aku tak akan bisa melihat wajah Pras untuk terakhir kali. Air mataku tumpah pada sapu tangan merah bordir kuning bertulis Pras-Sasti pemberianmu. Pandanganku buyar dan dalam kepekatan hati, kudengar samar dari suara lirih televisi dashboard mobil sebuah berita yang mengabarkan sabotase dokumen kematian pekerja asing di Lancashire. Demi membebaskan perusahaan dari tanggungan asuransi, kematian karyawan itu dibuat-buat seolah-olah berasal dari kesalahan pekerja akibat keracunan gas. Sayangnya, Eintein pernah bilang jika tak ada alat yang bisa berjalan melampaui kecepatan cahaya. Dan hari ini, dalam rasa pasrah, aku merelakan tubuhku ditelan waktu dari Cavinton menuju Lancashire demi membuktikan ucapanmu, apakah benar yang lebih kuat dari waktu hanyalah rindu?


Dody Widianto lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dll. Sila berkunjung ke akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.