Cutie and the Boxer: Apakah Sulit Menjadi Suami-Istri yang Berprofesi Sama?
Berita Baru, Film – Judul ini saya kutip dari seorang penanya di akhir film dokumenter Cutie and the Boxer, yang saya kira juga merangkum inti film tersebut.
Saya menonton film ini karena dua hal: memang sedang penasaran bagaimana jadinya rumah tangga dua orang dengan passion sama, dan yang kedua: Kang Mas mengajak saya menonton film ini jaman awal dekat dulu.
Jadi bagi saya, film ini terasa personal. Soalnya, saya sering bertanya-tanya, apakah seni, cinta, dan idealisme, selalu menjadi lawan dari, atau selalu kalah dari realitas?
Pertama kali selesai menontonnya, saya merefleksikan banyak hal, mengenai hubungan-hubungan asmara saya yang dulunya tidak berjalan mulus, dan hubungan yang saat ini saya jalin dengan lelaki yang setidaknya punya gairah sama dengan saya: membaca, dan menulis.
Bagi saya, dua poin ini penting sekali; filter pertama yang saya pakai saat jatuh cinta pada seseorang. Tapi, kalau dua-duanya membaca dan menulis, bagaimana rumah tangganya bakal bekerja? Apakah bakal terjadi persaingan? Ataukah yang satu harus mengalah pada gairahnya dan menjalani hidup sebagaimana “normal”-nya? Cari uang untuk membayar sewa, membesarkan anak?.
Itu, keresahan saya. Kalau diteruskan bakal panjang, jadi mari bicara soal filmnya.
Dari awal film, fokus cerita ada pada Ushio Shinohara, seorang seniman asal Jepang yang dikenal dengan boxing painting atau lukisan tinju.
Adegan Cutie and the Boxer dimulai dengan perayaan kecil-kecilan ulang tahun Ushio oleh istrinya, Noriko, lalu mulai mencuat masalah sewa rumah yang belum bisa dibayar. Tak ada uang. Kelak kita tahu Ushio menjual beberapa karyanya untuk membayar sewa dan membiayai kebutuhan harian yang ngepas, tapi itu nanti, setelah kita melihat Ushio bekerja: berangkat ke studio, melukis, memeriksa karya-karyanya.
Tapi kita tak boleh lupa: ada seniman lain di rumah itu. Dialah Noriko Shinohara, istri Ushio yang lebih muda 20 tahun darinya. Di masa mudanya, semangat berseni Noriko begitu menggebu. Seni adalah prioritas. Tapi setelah menikah, melahirkan, berumah tangga, ia tidak punya waktu untuk melukis. Ia bahkan kehilangan kenikmatan melukis.
Meski begitu, tetap saja, yang namanya gairah atau passion tidak semudah itu dibendung. Ia bakal terus menyala, seperti Noriko yang kembali melukis.
Mengutip Virginia Woolf, kata Noriko, bahwa perupa perempuan membutuhkan sedikit uang dan ruang sendiri untuk meraih keberhasilan.
Jika Ushio melukis pada kanvas-kanvas raksasa, Noriko menggunakan waktunya untuk melukis di buku gambar –dan kemudian melukis pada kertas-kertas jumbo untuk pameran seninya. Noriko menggambar karakter perempuan bernama Cutie yang bertemu dengan lelaki bernama Bullie ketika pergi ke New York, lalu menjalani suka-duka jatuh cinta.
Siapapun akan tahu bahwa kisah Cutie dan Bullie merupakan representasi hubungannya dengan Ushio. Namun di akhir film ia mengatakan, dalam kisah Cutie yang ia gambar, Cutie berhasil menjinakkan Bullie, mengontrol Bullie. Entah di kehidupan nyata, hahaha. Yang jelas, kisah Cutie dan Bullie pun tak dibuat happy ending karena Noriko percaya tak ada happy ending dalam realita.
Alex, anak lelaki mereka, juga seorang pelukis. Kesan tentang Alex yang saya tangkap dari film ini, ia seorang pendiam yang kikuk. Mungkin efek dari lingkungan masa kecil juga. Noriko pun mengakui penyesalannya tidak bisa memberikan lingkungan yang positif untuk tumbuh kembang sang putra.
Kupikir film ini tentang kerja seniman semata, ternyata bukan. Isu utamanya malah, kedua seniman mengarungi 40 tahun pernikahan dan masih mengalami kesulitan; secara emosional, maupun finansial.
Kisah pertemuan mereka pun dijabarkan: Noriko datang ke New York dan bertemu Ushio, Noriko jatuh cinta padanya –atau pada seni yang Ushio buat, atau pada diri Ushio yang nampak polos dan bertalenta, atau pada ide bahwa seni adalah segalanya bagi Noriko. Lalu mereka menikah.
Noriko sesimpel itu.
Seperti saya, hahahahaha.
Tidak salah jika The New York Times me-review film ini dengan judul The Art of Marriage or Marriage of the Art? Seni adalah yang menyatukan keduanya, tapi mampukah itu menjadi tumpuan untuk bertahan? Anjaaaay, kalau gue yang nulis jadi berasa judul sinetron nih bakalan.
Ushio dulunya pecandu alkohol. Dia minum, terutama bersama kawan-kawannya. Dia tetap minum setelah Noriko hamil dan melahirkan. Dia tetap minum saat anaknya bertumbuh dan menyaksikan ayahnya mabuk-mabukan.
Dia berhenti minum ketika, suatu hari tiba-tiba ia kesulitan bernapas. Dulunya, alkohol menjadikan mereka sering bertikai. Sekarang pun, keduanya masih bertikai atas hal-hal kecil.
Yang jelas, apapun yang terjadi, Cutie mencintai Bullie sepenuh hati. Aih.
Adegan yang paling saya tunggu adalah penampakan studio kerja Ushio dan Noriko. Studio Ushio luas, dengan lukisan-lukisan yang digulung dan yang dipamerkan di ruangan. Kaleng-kaleng cat lukis, kuas, sarung tinju, sampai vacuum cleaner ada di situ.
Studio Noriko? Lebih lovely, lebih kecil, tapi rasanya nyaman. Noriko melukis sambil duduk, lebih tenang dibanding Ushio yang melukis sambil berdiri, dan tubuhnya memang pecicilan, susah diam.
Kalau taste seninya, saya mungkin lebih demen dengan gambar-gambar minimalis Noriko dan isu atau cerita yang ia goreskan. Ah, atau memang keterbatasan saya saja untuk memahami karya seni Ushio hahaha.
Eh tapi, Ushio juga memiliki perjalanan sakral menggali ide, mencoba hal baru dan bukan boxing painting. Tapi, boxing painting-nya ada yang keren juga, sih. Ini, semisal. Saya suka karena latarnya enggak putih, jadi enggak monoton. Ya sudahlah, tonton filmnya saja.
Selain makaryo, Ushio juga memasak, misalnya hamburger isi seledri, sambil menggambar sketsa. “Kerja sama” dalam rumah tangga itu memang terlihat, meski terasa berjarak juga: menyikapi urusan bayar sewa dan lainnya, Ushio cenderung selow, kalem, sementara Noriko lebih menuntut sekaligus, lebih telaten –which I think rumah tangga gue bakal kayak gitu hahaha.
Oh, terkait pertanyaan di judul tulisan ini, “Apakah sulit menjadi suami-istri yang berprofesi sama?” Noriko menjawab, dia dan suaminya bagai dua bunga di dalam satu pot. Kadang mereka tidak mendapatkan nutrisi yang cukup untuk berdua, tapi ketika semua berjalan baik maka keduanya menjadi bunga yang indah.
Di adegan terakhir Noriko dan Ushio, ketika keduanya duduk bersama, gestur mereka menggambarkan rasa cinta yang mampu melebihi segala kekurangan dalam rumah tangga. Saling tatap, saling melihat. Azek.
Menonton ini, jadi terbayang Akele Hum Akele Tum (1995) yang dibintangi Aamir Khan dan Manisha Koirala. Keduanya disatukan oleh gairah pada musik, tapi setelah menikah, istrinya kehilangan waktu untuk menghidupkan gairah itu. Mengurus rumah, hamil, mengurus anak, sementara suaminya sedang serius-seriusnya makaryo, setengah mengabaikan sang istri. Lalu mereka pun bercerai –film ini setidaknya memberikan gambaran padaku, mungkinkah salah satunya harus menyerah pada gairah?.
Tapi jawabannya: enggak sih, enggak harus. Aku kenal seorang suami istri yang sama-sama bergairah menulis. Dan keduanya hidup dengan menulis, kuncinya ada pada: saling dukung. It is not impossible to marry your passion-partner, yo.
Akhirul kalam, tidak ada insan yang benar-benar sama. Pun sudah se-passion pasti ada bedanya. Apa yang kualami dulu dan sekarang, ketika dulu pengen sama yang se-passion biar nggak risau tapi ternyata sekarang sudah se-passion pun masih ada bedanya, seolah jadi pelajaran, bahwa itu bukan inti berpasangan.
Se-passion atau tidak, intinya adalah, bahwa keduanya bisa saling menerima kekurangan dan kelebihan, keduanya rela bersabar dan bersama-sama berdamai dengan itu, lalu biar cinta yang mencukupkan mereka…
Aduh sotoy banget aku.
But hei, I told ya, this movie is really personal for me.