Continuum Bigdata Center: Perpanjangan Masa Jabatan Kades Melawan Tatanan Demokrasi di Desa
Berita Baru, Jakarta – Pendiri Continuum Bigdata Center, Didik J Rachbini menyampaikan bahwa demokrasi di Indonesia diancam oleh para pelaku demokrasi itu sendiri, dan potensial demokrasi masuk jurang. Hal itu dapat dilihat dari lima isu hasil trolling data yang sampai saat ini masih bertebaran baik di media sosial maupun media online.
Salah itu isu tersebut adalah terkait akrobatik pelaku demokrasi yang mencoba mendorong perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun. Padahal hampir seluruh masyarakat Indonesia menolak wacana perpanjangan masa jabatan kades.
“Demokrasi itu intinya kekuasaan berbagi dan kekuasaan dibatasi. Karena itu ada pembatasan. Jabatan kepala desa ini yang memperpanjang ini kolusi. Kolusi secara tidak sah, melawan tatanan demokrasi, melawan adab demokrasi menjadi sembilan tahun” kata Didik J Rachbini dalam sebuah diskusi secara virtual, bertajuk ‘Dinamika Politik Menuju 2024: Apa Kata Big Data?’ Minggu (5/2).
Guru Besar Ilmu Ekonomi Politik Universitas Paramadina itu nilai, perpanjangan kades lebih najis daripada masa jabatan presiden 3 periode. Bahkan sama najisnya dengan presiden seumur hidup, yang telah membawa Presiden Soekarno dan Soeharto ke dalam jurang.
“Saya tahu bahwa orang-orang politik, partai politik, politisi, pemerintah, rezim melakukan ini dan dibincangkan. Coba di croling di bulan-bulan yang lalu. Jadi sekarang kepala desa ini menjadi salah satu dari demokrasi yang melenceng, meletup ke mana-mana. Jadi demokrasi itu alasannya bahwa supaya tidak terjadi suap-menyuap, resolusinya ya suapnya itulah yang harus dihilangkan,” katanya.
Lebih lanjut, mantan Wakil Direktur LP3ES tersebut berpandangan perpanjangan masa jabatan kades dapat menyuburkan oligarki di tingkat desa. Padahal, sistem atau tatanan yang paling demokratis selama ini berada desa. Apabila masa jabatan 9 tahun dikabulkan, 27 tahun rakyat desa akan tertindas.
“Dan sentimennya jadi muncul hampir mutlak negatif tetapi didorong oleh pejabat, politisi, menteri untuk mengambil suara secara legal, jadi partai itu berebut-rebut, tetapi menginjak-injak demokrasi. Ini perkara najis,” tegas Guru Besar Ilmu Ekonomi Politik Universitas Paramadina ini.
Oleh karena itu, Prof Didik dengan tegas menolak perpanjangan masa jabatan kades. Penolakan itu juga didukung oleh masyarakat Indonesia. Baginya, jika ada politikus yang mendukung perpanjangan masa jabatan kades, maka patut dipertanyakan.
“Kalau 97% suara negatif terhadap perpanjangan masa jabatan tetapi ada polusi, ini adalah transaksi haram antara pejabat rezim yang mendapat suara dari desa dengan kepala desa dengan rombongan kepala desa dan kepala desa itu yang memobilisasi,” tegasnya.