Citayam Fashion Week, Arus Balik Kebangkitan Anak Muda
Bahtiar Riza Saputra
Fenomena Citayam Fashion Week (CFW) dengan kehebohannya mengantarkan ke gerbang pulang, gerbang kebangkitan kemandirian dan kemerdekaan anak. Meski sempat menuai cibiran dan cemoohan, CFW mampu menunjukkan virusnya. Sehari kemudian, di beberapa daerah terserang sindrome fesyen week- fesyen week an.
Ini menjadi hal yang menarik, mengkaji dan membicarakan fenomena CFW bukan hanya perihal soal fesyen, tapi ini juga soal budaya, kebudayaan, dan bahkan kemerdekaan. Ekspresi dan pilihan gaya dari anak muda saat ini mungkin tengah menjadi terapi atau bikin kaget netijen atau bahkan masyarakat luas. Di mana dengan gaya ala anak muda metropolis Jakarta memilih dan mengeskplorasi gayanya.
Beberapa hari lalu, kita semua memperingati hari anak nasional. Hari itu menjadi hari di mana kita merefleksikan kembali peran dan hak-hak anak yang harus diberikan. Meski, hari anak adalah hari keseharian, karena peran dan hak-hak anak harus senantiasa diberikan setiap hari, 24 jam.
Beberapa kasus di media daring disebutkan beberapa problema anak muda atau remaja saat ini. Akhir pekan lalu, kita dikejutkan dengan kasus perundungan di mana seorang anak x diminta untuk menyetubuhi seekor kucing, lalu divideokan dan disebarluaskan. Di sisi lain, awal tahun 2022, juga tersiar kabar beberapa anak muda usia sekolah terpapar paham radikalisme terorisme.
Polemik anak muda baik dari segi sosial dan kebudayaan akhir ini cukup kompleks. Di sela problem itulah, anak muda Citayam dan sekitarnya menunjukkan taringnya ke khalayak dengan CFWnya. SCBD seketika itu menjadi lebih terkenal dengan gebrakan anak muda yang tengah memperkenalkan fesyennya hari ini.
Beberapa orang yang berpandangan moral menganggap pemuda-pemudi yang berkumpul di SCBD dalam CFW cukup mengkhawatirkan. Karena bla bla bla. Dikhawatirkan akan terjerat pergaulan bebas, menggunakan narkoba, dan lainnya. Bagaimana standar moral itu digunakan? Ketika hanya melihat dari foto-foto dan pakaian yang dikenakan anak muda saat itu.
Kita semua tidak berhak menghakimi generasi muda dengan segala ekspresinya. Pemuda saat ini tak perlu disamakan dengan gaya bergaulnya pemuda yang dulu-dulu. Ruang jumpa dan geraknya pun berbeda, bisa jadi mereka yang berkumpul di SCBD merupakan golongan pemuda yang tengah merancang revolusi agar dunia fesyen Indonesia ini bangkit.
Mereka, anak muda Citayam bukan wujud dari keburukan atau warna gelap itu. Anak muda adalah mereka yang sedang mencari jati dirinya. Mereka belajar mencari dirinya di tengah keriuhan ibu kota, di tengah keriuhan kemacetan Jakarta, di tengah menjulang tingginya gedung-gedung, di tengah kosongnya ruang publik yang bisa dijangkau dengan isi kantong yang pas-pasan.
Mereka, anak muda hendak menyelamatkan dirinya dari bahaya kematian mendadak akibat tiadanya ruang berekspresi. Sekali berekspresi, mampu menunjang apresiasi dan kritik, eh malah mau dikapitalisasi. Kabarnya ada artis yang mau melegalkan CFW. Ini sungguh menggemaskan.
Gerakan anak muda CFW merupakan demonstrasi atas minimnya ruang publik untuk merayakan jati diri, untuk mencari jati diri, untuk mengeksplorasi minat bakat terbaik. CFW merupakan inisiatif yang bebas kepentingan, bebas nilai, dan merdeka atas segala intervensi. Kekhawatiran akan distorsi moral bisa ditepis dengan bagaimana pendidikan mengantarkannya menuju manusia Indonesia yang beradab.
Semua soal sistem di negeri ini. Anak muda tidak patut disalahkan, mereka membutuhkan rekan berbagi ide pikiran dan pengalaman serta ruang berekspresi. Di atas moralitas ada moral itu sendiri, di atas moral ada kasih sayang dan cinta kasih. Kalau kita, pengamat pada umumnya menilai gerakan anak muda CFW merusak moral anak muda, maka prespektif kita memuliakan anak muda sangatlah rendah apresiasi dan kasih sayang. Mereka adalah anak-anak kita yang butuh teman belajar dan bergerak. Mereka akan sangat suka ketika idenya didengarkan, ekspresinya difasilitasi, dan segala potensinya didayagunakan.
Penulis merupakan esais lepas yang tinggal di Lamongan. Aktif dikegiatan Karang Taruna. Sedang menjadi pendidik di salah satu sekolah swasta di Lamongan.