Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Iran China AS
Presiden China Xi Jinping bertemu dengan Presiden Iran Hassan Rouhani selama kunjungan Presiden Xi Jinping ke Iran pada 22-23 Januari 2016. Kredit Ebrahim Noroozi / Associated Press.

Ciptakan Kemitraan Strategis Iran-China, AS Harus Siap Hadapi Amukan ‘Dua Anak Badak’



Berita Baru – Pada 16 Januari 2016, Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran efektif berlaku. Iran diwajibkan untuk pembatasan cadangan uranium yang diperkaya dan fasilitas nuklir, sebagai ganti untuk pengurangan sanksi PBB serta mendapat bantuan dari AS dan PBB.

Sejak efektif diberlakukan, perjanjian yang kini di ujung tanduk itu mempengaruhi Iran secara signifikan, terutama setelah AS keluar secara sepihak dan kembali memberikan sanksi keras pada Iran.

Namun, tahukah Anda, bahwa negara pertama yang mengunjungi Iran setelah JCPOA berlaku? China. Sekjend Partai Komunis China sekaligus Presiden China Xi Jinping, langsung mengunjungi Iran pada tanggal 22-23 Januari 2016.

Dan dalam kunjungan Presiden Xi Jinping itu, Republik Islam Iran dan Republik Rakyat China yang dikuasai oleh Partai Komunis, mengumumkan bahwa mereka menanda tangani kesepakatan besar di semua bidang hubungan bilateral dan masalah regional dan internasional.

Kesepakatan kedua negara itu dikenal dengan Comprehensive Strategic Partnership.

Kesepakatan Iran-China itu terdiri dari 20 bagian, yang menentukan peta jalan pengembangan dan pendalaman hubungan Iran-China dalam bidang politik, kerjasama eksekutif, budaya, peradilan, keamanan dan pertahanan, regional dan Internasional.

Wartawan New York Times, Farnaz Fassihi dan Steven Lee Myers mengungkapkan kekhawatiran bahwa perjanjian itu akan memperluas pengaruh China di Timur Tengah dengan membuatkan Iran jalur ekonomi dan menciptakan ‘titik peperangan’ baru.

Terlepas dari detil, keaslian, atau ‘versi final’ dari kesepakatan itu, ada satu alasan kuat, efektif dan saling menguntungkan mengapa Iran-China ‘harus’ atau ‘ingin’ kerja sama di bidang ini.

Pertama, China adalah negara importir minyak terbesar di dunia. Ia telah menggeser negara adidaya-adikuasa yang dulu juga pengimpor minyak terbesar dunia. Sementara, Iran, yang juga masuk dalam top-ten pengekspor minyak terbesar, mencari pembeli yang ‘berani menentang’ sanksi keras dari AS.

Kedua, Iran membutuhkan infrastruktur modern seperti pada jaringan kereta api dan 5G, dan China ‘tampaknya’ merupakan satu-satunya yang bisa memenuhi kebutuhan itu. Sementara, China juga akan melihat Iran sebagai penghubung ‘yang memungkinkan’ terkait strategi Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative), yang menghubungkan Xinjiang dengan Timur Tengah.

Ketiga, baik Iran maupun China punya kekhawatiran akan adanya intervensi militer dari AS. Secara strategis, Iran mencari senjata dan pengaruh di wilayah Asia, begitu juga sebaliknya, China ingin mengembangkan Iran sebagai pasar senjata yang menguntungkan dan benteng strategis menghalang invasi militer AS di luar Asia.

Alasan ketiga itu sangat mungkin terjadi mengingat, di tahun 1980-an, China pernah menjadi pemasok senjata utama dan terbesar di Iran. Selain itu, pada Desember 2019, kapal-kapal angkatan laut China, Iran, dan Rusia melakukan latihan bersama di Teluk Oman. Saat itu, para analis mengggambarkan latihan bersama itu sebagai penyelarasan strategis antara ketiga negara.

Dari ketiga alasan itu, Iran-China memiliki alasan kuat untuk menjaga kesepakatan sejelas mungkin. China telah lama berusaha untuk menyeimbangkan hubungan China-Iran dengan kepentingan-kepentingannya yang bersaing di Teluk, misalnya Arab Saudi yang pada tahun tahun 2019 menjadi pengirim minyak yang lebih besar dari Iran.

Menurut VOA, beberapa pekerjaan infrastruktur China yang sedang berlangsung di Iran di antaranya: desain ulang reaktor nuklir tenaga air Iran di Arak oleh China National Nuclear Corporations, dan pembangunan jalur kereta cepat Teheran-Qom-Isfahan oleh China Railway Engineering Corporation yang diperkirakan selesai tahun depan.

China sendiri ternyata tidak melakukan ‘kemitraan strategis’ dengan Iran saja. Secara bersamaan, China juga menjalin kemitraan dengan Arab Saudi, Kuawait, Qatar dan Oman. Nyatanya, bagi China, negara-negara di Teluk ‘kesemuanya’ adalah mitra diplomatik penting. China akan berpikir panjang untuk memusuhi negara-negara itu.

Pada intinya, alasan yang paling nyata adalah tekanan AS. Setelah memberikan sanksi ekonomi yang melumpuhkan Iran tahun 2018, AS juga memberikan sanksi keras pada perusahaan-perusahaan teknologi penting China pada tahun 2019, terutamanya Huawei. Dan kini kedua negara itu ‘berani’ menentang sanksi-sanksi AS.

Karena itu, terlepas dari kontroversi atau keaslian perjanjian tertulis Iran-China dan China-Iran memiliki kepentingan masing-masing, Joel Wuthnow, seorang peneliti senior di Pusat Studi Urusan Militer China (CSCMA) di Universitas Pertahanan Nasional, mencatat di National Interest beberapa aspek kerja sama China-Iran dapat menimbulkan masalah serius bagi AS.

Pertama, apakah China akan terus menerima impor minyak dari Iran, di mana Iran kemudian akan mendapatkan uang atau peralatan teknologi/militer.

Kedua, investasi China di pelabuhan Chabahar terus berlanjut. Pada April 2018, China Petroleum and Chemical Industry Federation Iran China berencana untuk membangun sebuah pusat petrokimia di pelabuhan Chabahar, Iran selatan. Namun, India juga tampaknya tertarik ikut berinvestasi di sana. Dan ketegangan baru-baru ini antara India-China tampaknya bisa mempengaruhi kesepakatan Iran-China.

Ketiga, meskipun China tidak mungkin membiarkan dimulainya kembali program senjata nuklir Iran, China tetap dapat memasok senjata konvensional canggih ke Iran setelah sanksi PBB kepada Iran berakhir pada Oktober menurut perjanjian JCPOA. Ini juga yang mungkin akan dilakukan Rusia.

Dari segi kekuatan militer, menurut Global Fire Power, AS memang menduduki peringkat pertama dalam hal kekuatan militer dunia. China berada di urutan ketiga, sementara Iran di urutan 14.

Namun, Iran baru-baru ini telah berhasil meluncurkan satelit ‘Noor’ yang menurut Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran merupakan kekalahan besar bagi musuh-musuh Iran dalam hal intelijen, termasuk Amerika Serikat (AS).

Jika AS terus menerus menekan Iran dan China dengan sanksi-sanksi atau pembatasan lain, kemudian Iran dan China bersekutu membuat blok untuk melawan AS, maka AS ibarat menghambat dua anak badak secara bersamaan hingga ia akan menghadapi kesulitan serius.