China Berpotensi Menyalip Amerika Serikat di Bidang Teknologi
Berita Baru, Internasional – Mengutip artikel dari CNBC pada hari Minggu (17/5), para ahli teknologi mengklaim bahwa Amerika Serikat (AS) saat ini memang masih unggul dalam bidang teknologi dengan China, namun China punya kekuatan untuk mengejar AS.
Para ahli mengatakan bahwa Washington tidak boleh lengah dan berpuas diri dengan posisinya sekarang. Washington harus fokus untuk melakukan kerja sama dengan para sekutunya serta mengorientasikan kembali kebijakan dalam negeri untuk terus meningkatkan kemampuannya.
Peringatan terhadap Washington itu muncul ketika AS dan China terlibat dalam persaingan yang semakin panas untuk mendominasi bidang teknologi generasi mendatang, termasuk jaringan 5G dan kecerdasan buatan (AI).
Frank Rose selaku petugas senior keamanan dan strategi dalam program kebijakan Luar Negeri AS di Brookings Institution mengatakan dalam webinarnya pada awal bulan Mei bahwa kompetisi antara AS dengan Cina pada dasarnya adalah tentang siapa yang akan mengendalikan infrastruktur dan standar teknologi informasi global.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Michael Brown selaku direktur unit inovasi pertahanan di Departemen Pertahanan AS mengatakan bahwa untuk sementara ini, China masih belum mendapatkan teknologi yang lebih baik dari AS, terutama di bidang-bidang seperti produksi mesin jet dan semikonduktor.
“Jadi mereka [China] belum cukup di sana, tapi saya pikir kita tidak bisa berpuas diri sekarang. Saya pikir mereka sangat mampu untuk bersaing, dan itulah yang membuat saya khawatir, jika kita tidak bangun dan melihat apa yang perlu kita lakukan untuk bersaing,”ucap Michael Brown dalam webinar Brookings Institution dikutip di CNBC.
Selain Michael Brown dan Frank Rose, Scott Moore selaku direktur Program Penn Global China di Universitas Pennysylavinia juga memperingatkan Washington bahwa China tetap menjadi satu-satunya negara yang punya kekuatan berskala besar dan berpotensi menimbulkan ancaman bagi keunggulan AS, terutama di sektor bioteknologi.
Paga gilirannya, Andrew Imbrie selaku petugas senior di Pusat Keamanan dan Teknologi Universitas Georgetown lebih mendorong AS dan sekutunya untuk bersama-sama membangun teknologi masa depan untuk prioritas bersama dengan memanfaatkan penelitian dan pengembangan yang sudah meraka lakukan.
Michael Brown setuju dengan saran dari Andrew Imbrie dan mengatakan bahwa selain berinvestasi dalam penelitian, Washington juga harus mempertimbangkan strategi yang benar-benar efektif untuk mereformasi bisnis dan pasar modal mereka, baik untuk jangka pendek dan yang paling penting untuk jangka panjang.
Ia juga mengingatkan bahwa strategi jangka pendek komunitas bisnis AS sekarang dapat menghambat upaya AS untuk memenangkan ‘perlombaan negara adidaya’ dengan China.
“Kita harus mereformasi ini atau kita tidak akan berhasil bersaing dengan Beijing,” tegas Brown.
Mengutip Sputnik pada tanggal 18 Mei, kekhawatiran dan pernyataan ini muncul ketika pemerintah China dengan serius bersiap merilis cetak biru 15 tahun mereka yang dikenal dengan ‘China Standards 2035.’ Cetak biru itu menguraikan rencana China selama 15 tahun mendatang untuk menetapkan standar internasional untuk teknologi masa depan.
Jika ditarik lebih mundur, di tahun 2017, China sudah serius untuk menjadi negara yang memimpin teknologi kecerdasan buatan secara global di tahun 2030. Lalu di tahun 2015, China juga sudah melakukan presentasi rencana mereka dalam program ‘Made in China 2025’ yang bertujuan untuk membantu Beijing mendominasi produksi teknologi tingkat tinggi dalam skala internasional.
Akhir-akhir ini, hubungan AS dan China semakin memanas setelah Washington menuduh China terkait COVID-19. Beijing menolak keras semua tuduhan dari Washington.
Suasana panas itu kemudian ‘dituangi minyak’ oleh AS yang terus-menerus menekan perusahaan-perusahaan teknologi dari China, mulai dari memasukkan mereka dalam daftar hitam di tahun 2019 (Huawei terutama), hingga memblokir dan membatasi ruang gerak perusahaan-perusaahan China di AS.
Hal itu dilakukan AS karena AS menganggap bahwa teknologi dari China itu bisa mengkhawatirkan keamanan nasional dan menuduh bahwa jaringan 5G dapat digunakan oleh Beijing untuk memata-matai pengguna. Namun Huawei dan Beijing menolak keras tuduhan tersebut.