Cegah Bencana Karhutla Melalui Modifikasi Cuaca
Berita Baru, Jakarta – Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Hammam Riza mengungkapkan, sejak pertama kali diterapkan pada 1997, Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) mampu sebagai salah satu solusi untuk mitigasi bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Saat ini bahkan diperkuat dengan keluarnya Instruksi Presiden No.3/2020 yang menyebutkan BPPT melakukan operasi modifikasi cuaca dan pengembangan teknologi pembukaan lahan tanpa bakar untuk mendukung upaya penanggulangan karhutla,” kata Hammam Riza saat membuka web-seminar (Webinar) di Jakarta, Rabu (17/6).
Webinar yang digelar Balai Besar Teknologi Modifikasi Cucara (BBTMC-BPPT) bertajuk “Evaluasi penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk mitigasi karhutla dari sudut pandang sains atmosfer dan nilai manfaatnya”, dihadiri sekitar 1000 peserta melalui aplikasi zoom, dan disaksikan ratusan peserta secara live melalui You Tube.
Acara dibuka Kepala BPPT Hammam Riza dan dipandu oleh Andi Eka Sakya, Perekayasa Utama BPPT yang juga mantan Kepala BMKG. Para panelis diantaranya Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca Tri Handoko Seto, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Indroyono Soesilo, Deputi Litbang Badan Restorasi Gambut Haris Gunawan, dan Ketua Umum Asosiasi Ahli Atmosfer Indonesia Widada Sulistya (Sestama BMKG), serta Raffles B. Panjaitan, Tenaga Ahli Menteri Bidang Manajemen Landscape Fire Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
Menurut Hammam Riza, keberhasilan TMC tersebut pada akhirnya akan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
“Terlebih saat ini dilaksanakan mitigasi, pencegahan sebelum terjadi karhutla, sehingga mampu meminimalisir kerugian,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Hamam Riza, BPPT akan terus melakukan terobosan inovasi TMC dengan membangun ekosistem inovasi TMC melalui dukungan stakeholder terkait.
“Dalam RPJMN (Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional), KLHK bertindak sebagai koordinator membangun kerjasama operasi TMC karhutla. Diharapkan operasi TMC sebagai operasi adaptasi perubahan iklim tetap dilanjutkan,” tegasnya.
Sementara itu, Tri Handoko Seto, Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC-BPPT) mengatakan, operasi TMC mampu menghasilkan air dalam jumlah yang sangat banyak sampai jutaan m3 perhari jika dilakukan pada saat yang tepat.
“TMC tergantung dari ketersediaan awan dan pelaksanaanya harus terencana baik. Diusulkan agar BPPT diberikan penugasan nasional, dan memiliki independensi pelaksanaan operasi TMC yang berkelanjutan yang didukung oleh anggaran, peralatan termasuk pesawat serta dan SDM, baik perekayasa, peneliti, dan litkayasa,” ujarnya.
Disisi lain, lanjut Tri Handoko Seto, kontrol terhadap kandungan air lahan gambut (kelembaban gambut dan tinggi muka air gambut) harus selalu terkendali melalui sistem informasi, penyebaran sensor IOT, dan integrasi big data lahan gambut.
“Keterpaduan kegiatan monitoring kandungan air lahan gambut tersebut, pembangunan bendung-bendung di area gambut, serta pengisian/pembasahan air di lahan gambut, baik melalui cara-cara manual seperti dengan pompa maupun cara modifikasi cuaca harus dilakukan secara sistemik,” ujarnya.
Tri Handoko Seto mengatakan, Operasi TMC Karhutla yang dimulai sejak Maret lalu, merupakan langkah peventif atau pencegahan. Seperti diketahui, operasi TMC Karhutla mulai diterjunkan di Provinsi Riau pada 11 Maret hingga 2 April 2020 lalu dengan pendanaan bersumber BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Operasi TMC mampu menghasilkan air hujan capai 97.8 juta meter kubik, sementara titik hotspot terpantau nol dan TMA (Tinggi Muka Air) lahan gambut di lima kabupaten yang berada di utara Pekanbaru mengalami kenaikan seiring dengan adanya peningkatan curah hujan.
Disebutkan, pada pelaksanaan operasi TMC kedua di Riau (13-31 Mei 2020) pendanaan dipegang KLHK, dan mitra perusahaan di bidang kehutanan. Air hujan yang dihasilkan selama operasi berlangsung tercatat capai 44.1 juta meterkubik. “Hotspot dapat dipertahankan nol titik dengan ketinggian TMA yang dapat dipertahankan pada kondisi di atas batas bahaya -0.4 meter yaitu Rokan Hulu, Dumai dan Kepulauan Meranti. Sedangkan pada Kabupaten Bengkalis yang mengalami kenaikan cukup signifikan pada akhir masa TMC,” papar Tri Handoko Seto.
Sementara, operasi TMC Siaga Darurat Bencana di Sumatera Selatan dan Jambi (2-14 Juni 2020), mampu menghasilkan air hujan sebanyak 24,14 Juta meterkubik.”Jumlah hotspot juga terpantau nol titik. 14 dari 17 stasiun pengukuran menunjukkan nilai TMA berada di atas aman,” ujar Seto.
Indroyono Soesilo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengatakan, operasi TMC saat ini bukan lagi tahapan riset tapi operasional. “Selama pelaksanaan operasi TMC di Provinsi Riau, TMA lahan gambut di 60 kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) alami kenaikan. Demikian pula TMA lahan gambut di 16 wilayah HTI di Provinsi Sumatera Selatan dan 5 wilayah HTI di Provinsi Jambi juga cenderung naik,” ujarnya.
Indroyono yang juga tercatat sebagai Professor Riset Emiritus dan Perekayasa Utama Kehormatan BPPT ini, juga mengungkapkan pada awal operasi TMC atau hujan buatan dirintis, BPPT bahkan mampu memegang komando 28 pesawat TMC dari 6 negara.