BUMDes Mangkrak, Bakornas Desa Ajak Restorasi “BUMDes Merpati”
Berita Baru, Jakarta – Dalam rapat terbatas mengenai Penyaluran Dana Desa Tahun 2020, Presiden Jojokwi mengevaluasi berjalannya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Presiden geram lantaran banyak BUMDes yang mangkrak.
“Ada 2.188 BUMDes tidak beroperasi dan 1.670 BUMDes beroperasi tapi belum memberikan kontribusi pada pendapatan desa. Jadi tolong ini menjadi catatan,” kata Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/12).
Menyikapi hal itu, Direktur Eksekutif Bakornas Desa, Anom Surya Putra menyebut fenomena tersebut dengan “BUMDes Merpati”. BUMDes yang dibentuk atas dasar instruksi petinggi supra Desa tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan.
“Kami sering menemui fenomena BUMDes Merpati pada beberapa proses pendidikan dan pembelajaran dengan BUMDes. Kami sarankan, tipe BUMDes Merpati dinyatakan rugi, pulihkan tata kelolanya, atau dibubarkan melalui Musyawarah Desa,” papar Anom melalui siaran pers, diterima Beritabaru.co, Kamis (12/12).
Agar tidak mangkrak dan merugi, Founder Pasardesa.co ini menyarankan kepada pemungku kebijakan untuk mengadakan restorasi BUMDes.
Langkah pertama, menurut Anom, BUMDes harus didasarkan pada potensi sumberdaya bersama (common pool resources), seperti sungai, mata air, dan lainnya. Lalu aset Desa seperti tanah Desa, bangunan milik Desa dan aset masyarakat Desa seperti persawahan, peternakan, perikanan dan lainnya.
“Kami ajak BUMDes menyusun model bisnis yang relevan dengan sumber daya bersama itu. Model binisnya mulai dari konsolidasi dengan pelaku usaha di Desa setempat, kolaborasi dengan perusahaan setempat (program CSR), dan negosiasi antara unit usaha bentukan BUMDes dengan jalur bisnis yang lebih luas (offtaker dll).”
“Era marketplace ini penting bagi BUMDes agar berani ekspos produknya melalui marketplace apapun, mulai Tokopedia, Lazada, Bukalapak, dan lainnya. Tapi, selesaikan juga persoalan sinyal internet di Desa. Plus, BUMDes berani mengeluarkan biaya pemakaian internet. Tak semua warga Desa itu punya paket kuota besar, mayoritas pengguna paket kuota Rp 5-10 ribu per bulan,” tambah Anom.
Kedua, pihaknya mengajak operator BUMDes menyusun laporan keuangan standar ETAP (Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik). Diadaptasi sesuai model bisnis BUMDes. Langkah itu, katanya sebagai konsolidator usaha di Desa. Ia mencontohkan BUMDes bisa punya pendapatan komisi atas dasar kerjasama dengan pelaku usaha di Desa.
“Masalahnya, tak semua pelaku BUMDes berani melakukan kerjasama karena takut dengan ini-itu, aturan ini-itu, badan hukum ini-itu. Kami berpegang pada UU Desa, PP, dan bahkan Perpres Jokowi yang mengakui BUMDes sebagai badan hukum untuk mengurusi reforma agrarian.”
“Peluangnya, kami melihat semangat pelaku BUMDes ketika belajar menyusun neraca, laba rugi, arus kas, dan perubahan ekuitas. Mereka mampu membongkar nalarnya sesuai pasal 89 UU Desa. Selain menjadikan labanya sebagai modal periode akuntansi berikutnya, BUMDes setor ke PADesa,” terangnya.
Ketiga, pihaknya siap memfasilitasi cara berhukum BUMDes. Katanya, Perdes pendirian BUMDes, Keputusan Kades tentang AD/ART dan SK Kades tentang struktur organisasi BUMDes harus dibenahi.
“Jangan sampai peraturan di Desa itu sekedar copy paste, tak ada hubungannya dengan usaha yang dilakoni oleh masing-masing BUMDes,” pungkasnya.
Menyikapi pernyataan keras Presiden, Ia mengajak pelaku pendampingan BUMDES untuk terus “Mendidik dengan Melayani, dan Melayani dengan Mendidik”.
Pasalnya, ribuan BUMDes akan mengalami seleksi alamiah. Anom yakin, siapa yang konsisten berjuang mengelola sumber daya setempat, pasti akan mudah berjejaring pada skala luas.
“Beda sekali dengan BUMDes yang asal dibentuk untuk memuaskan perintah supra Desa, tak sampai 2 tahun akan bakal merugi,” tutupnya. [AD]